Di hari pendidikan ini saya berkesempatan membaca satu
buku baru. Bahkan teramat baru, karena belum terbit. Judulnya “Menghadirkan
Pendidikan Humanis” karya Bpk. Dr. Fathul Anam, M.Si. Saya merasa terhormat
karena diberi kesempatan oleh Pak Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo
(Unusida) untuk menjadi pembaca pertama, sebelum karya tulis ini diluncurkan ke
publik.
Tugas saya sederhana, diminta beliau untuk membaca
lantas memberi tanda koreksi kalau-kalau ada salah salah ketik atau keliru typo
di dalamnya Terus melihat konsisten penulisan ejaan seperti “subyek” atau
“subjek”, Alquran atau Al-Qur’an. Sesekali bila bertemu dengan kalimat majemuk
bertingkat yang beranak-cucu, ciri khas penulis akademis, maka saya mencoba
menyederhanakannya dengan memecah
menjadi dua atau tiga kalimat yang lebih sederhana dan efektif. Manakala
ketemu deskripsi yang agak boros, saya melakukan ekonomi kata. Itu saja.
Selebihnya saya malah diberi kemewahan gratis: menyelami kedalaman telaga ilmu
tentang pendidikan humanis.
Kira-kira dua tahun lalu, gagasan tema yang sama
sebenarnya sudah berkumpar-kumpar di benak saya bersama dengan sahabat-sahabat
sesama alumni Universitas Malang (dulu IKIP Negeri). Bahkan waktu itu kami
sudah rapat, bikin outline, dan berbagi menulis keroyokan. Mungkin karena
masing-masing anggota tim merupakan orang sibuk, maka proyek bersama itu tidak
jelas jluntrungnya.
Tahu-tahu beberapa waktu lalu, Pak Fathul Anam,
selalu Ketua IKA-UM Surabaya-Gresik-Sidoarjo, menyodorkan sebuah draf buku ke
saya, “Iki lho Pak Adri, bukune wis jadi.” Nah lo,
kedhisikan Pak Komandan wis ngene iki, rek.
Sungguh ini buku referensi yang layak dikaji.
Terutama bagi para Cikgu atau pemerhati masalah pendidikan, karena gayut dan
kontekstual dengan sikon sekarang. Sebuah buku yang mengritisi realitas
penyelenggaraan pendidikan dewasa ini, yang dalam banyak hal justru sedang menjalankan
proses dehumanisasi. Ini ironis, sebab seharusnya pendidikan adalah proses
humanisasi, sebuah kegiatan sadar dan berkelanjutan untuk memanusiakan
manusia.
Masih terjumpai praktik pembelajaran yang kurang kondusif,
relasi guru dengan siswa masih bernuasa intimidatif, adanya dikotomi
guru-subjek murid-objek. Bahkan dalam bahasa ungkap Paulo Freire disebutkan
sebagai “pendidikan yang menindas”. Kritik klasik sastrawan India Rabindranath
Tagore bahwa “sekolah adalah penjara”, seolah tak kunjung usang. Sistem persekolahan
yang justru membuat siswa tidak mandiri dan tidak dapat menunjukkan
eksistensinya sebagai manusia otonom yang dapat mengatur dirinya sendiri (hlm 117).
Buku ini mencoba mengupas tuntas tentang pendidikan
humanis dari berbagai perspektif. Mulai dari pemikiran barat seperti John Dewey,
Paulo Freire, hingga filsafat humanis ala Abraham Maslow atau R.Rogers. Lalu
disandingkan dengan pemikir pribumi Ki
Hajar Dewantoro yang visioner. Tidak ketinggalan dicarikan pula rujukan ke dalam
khahasah timur Al-Ghazali hingga ke kalam suci Al-Qur’an untuk memahami
perlunya menghadirkan pendidikan yang humanis-religius.
Tapi maaf saya belum bisa banyak bercerita, karena
sampai pagi ini buku setebal 310 halaman itu baru terbaca sekitar 75%nya.
Semoga segera kelar agar dapat segera beredar. (*)
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon