Ketika orang mulai membincangkan kehidupan new
normal yang bakal terjadi pascapandemi, saya merasa telah mulai sedikit mencicipinya.
Mencoba seolah menjadi teleworker meskipun dalam taraf masih belajaran.
Adalah Pak Teguh Wahyu Utomo, sahabat saya saat menjadi awak
media Surabaya Post, yang mengawali dengan satu gagasan mulia. Dosen UPN
Veteran Surabaya itu bersedia merepotkan diri dengan memasang iklan bakti
sosial Ramadan. Karena beliau aktivis literasi, maka ditawarkan pelatihan
menulis secara daring. Gratis-tis!
Ternyata banyak peminatnya, ada 34 orang. Mereka
berasal dari Surabaya dan sekitarnya, dari Malang, Magetan, Bojonegoro, Cirebon,
Denpasar, Bandung, Singkawang, bahkan dari Belanda. Profesinya pun macam-macam.
Bunda PAUD, cikgu TK hingga SMA, dosen, bahkan guru anak berkebutuhan khusus.
Ada ibu rumah tangga, traveller,
modelling, pelukis, olahragawan, hingga cerpenis.
Saya turut bergabung karena butuh berkawan dengan orang-orang
berhobi sama, sesuai habitatnya. Bukankah secara alami kambing cenderung
berkelompok dengan kambing? Bertemu dengan sesama pecinta dunia tulis-menulis
pasti dapat menginspirasi dan saling menguatkan. Bukankah pepatah bilang , putihnya
beras karena gesekan sesama gabah?
Ini pelatihan menulis full jarak jauh. Memanfaatkan chatting
grup WA, kontak telepon, email, hingga aplikasi meeting Zoom. Modul, penugasan, dan karya tulis peserta berseliweran
lewat dunia maya, dan semua peserta bisa memantau dan mengomentari lewat gawai
masing-masing. Sebuah proses pembelajaran nonformal yang interaktif-efektif,
yang n agak sulit dijalankan andai kita tidak sedang dikepung wabah.
Terjadi gesekan ide dan proses kreatif. Ada yang mengaku
kesulitan menulis jika harus diawali dengan membuat kerangka tulisan,
menentukan gagasan pokok disusul dengan deskripsi penunjang seperti lazim di
dunia akademik. Ada juga yang maunya menulis mengalir bebas, tetapi gampang
ngelantur ke mana-mana. Hasil karya tulis pesertapun beragam. Ada yang bergaya
reportase, esai, cerpen, hingga model naratif. Sah saja. Tapi apapun itu, bukankah
ini semua merupakan proses pembelajaran daring yang luar biasa?
Bukan sekadar latihan ternyata kemudian
masing-masing peserta menyetor karya tulis bebas, asalkan bertema virus corona.
Lalu lahirlah draf buku antologi “Kiat
Hidup di Tengah Krisis Covid-19” setebal 254 halaman.
Begitu pdf draf buku itu diunggah di grup WA,
riuhlah suasana. Terutama bagi peserta yang baru pertama membuat buku. “Aku speechless, ada namaku di situ”, “bangga
bisa berteman dengan orang-orang baru yang hebat,“ dan “Mantaff, ini buku pertama KITA!!.”
Lihatlah, penyebutan kata “kita” itu terasa
istimewa, sebab sebulan yang lalu kita adalah individu yang tidak saling
mengenal, tiba-tiba menjadi kayak
saudara. Maka saya pun turut larut dalam gembira, merasakan kegairahan penulis yang
membuncah karena karyanya hendak dipublish.
Perbincanganpun berkembang tentang bagaimana proses
cetak hingga besaran harga buku. Semua saling dukung saling berbagi info. Teman
dari Cirebon mengunggah daftar harga cetak buku di sana, sekadar untuk
referensi. Yang lain usul kiat promosi dan cara preorder. Pendeknya, tengah
terjadi kolaborasi intensif untuk bareng-bareng menyukseskan karya bersama.
Sungguh saya menikmati kegiatan baksos literasi
Ramadan kali ini. Saya membayangkan ke depan bekerja (juga belajar) dengan
model kolaboratif dan berjejaring semacam ini akan banyak dilakukan orang. Boleh jadi itu salah satu wujud dari new
normal pascapandemi.
Sampai di sini lamat-lamat terngiang kembali ucapan
jadul si Charles Darwis itu: “bukan yang terkuat yang bertahan, melainkan yang
paling adaptif menghadapi perubahan.”
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
1 comments:
Write commentsSukaaaaa....😍😍😍
ReplyEmoticonEmoticon