MANUSIA ZOOM


Tanpa rencana, tanpa pula berniat “nggaya”, tahu-tahu saya ketularan menjadi manusia zoom. Di musim pandemi ini saya jadi kerap mengikuti pertemuan daring dengan menggunakan aplikasi Zoom.  Bergabung dalam rangka liputan, menambah wawasan, sharing pengalaman, maupun silaturahmi.  Saya, bersama Pak Kemi, juga sempat diperankan menjadi narsum dalam topik terampil menulis di era medsos untuk program siswa SMA Double Track Jatim.

Setiap malam, selepas tarawih, saya berupaya menyempatkan diri menyimak tausiyah Bpk Dr. Moh. Sulthon Amien di forum keluarga besar Mulia Grup. Pekan lalu bersama sahabat Bisdesa alumni IKIP Malang juga iseng seru-seruan ber-zoom ria, reuni online. Pagi tadi Pak Wahyu tetangga saya rasan-rasan mengajak ngaji bareng via daring.

Kadang sambil rebahan, anak perempuan saya serius mengikuti kuliah atau membimbing praktik adik kelasnya via Google Meet. Sedang anak saya satunya lagi kemarin juga gabung webinar gratis Gapura Digital untuk belajar copywriting.  Walhasil, kami bergerak dari satu meeting ke meeting berikutnya. Berdasar catatan Pak Irwan Susilo, pada 21 April 2020 pengguna layanan video conference Zoom di dunia membludak, mencapai 300 juta orang lebih.

Implikasinya segera terlihat: biaya pulsa bertambah! Tapi harus diakui, betapa efektif dan efisiennya pertemuan online itu. Efektif karena dengan satu kode akses sekian banyak orang bisa berinteraksi dan saling mengisi ilmu. Efisien karena mengumpulkan ratusan orang dalam sebuah seminar jelas butuh ruang pertemuan yang besar, makan siang dan coffe break yang tidak murah.

Tapi migrasi ke dunia online tidak serta merta berjalan mulus, sebab sebagian besar kultur dan mental kita masih di era offline. Lalu muncul kelucuan-kelucuan yang manusiawi. Dunia daring mengharuskan orang bicara dengan efektif dan singkat, tetapi dari beberapa webinar yang kuikuti masih terjadi sambutan-sambutan pejabat yang berkepanjangan, menghabiskan waktu yang sangat berharga (dan berbayar) itu. Demikian juga dengan cara presentasi narasumber yang cenderung masih berlanggam “jagongan.”

Tapi mengkritik memang gampang. Buktinya saya sendiri ternyata juga agak gagap ketika harus presentasi daring. Ngomong sendiri di depan laptop, betapa tidak nyamannya. Joke-joke yang biasa saya lontarkan di kala diklat konvensional akan menghasilkan feedback suasana segar karena respons tawa audiens langsung terdengar. Tapi itu tidak terjadi di Zoom, karena semua suara peserta dimute (dibisukan). Saya merasa sepi seperti tidak bersama siapa-siapa, padahal paparan saya sedang disimak oleh 280 pemirsa webinar dan 400-an di youtube live. Agaknya kapan-kapan saya perlu belajar ke Simon Ang dan Ely Prabowo yang sudah mumpuni menjadi presenter tivi.

Secara pribadi saya kurang begitu suka belajar model daring. Mungkin awak tergolong generasi jadul. Menyerap ilmu dengan menyimak uraian lisan orang terasa lamban, bila dibanding dengan membaca sendiri dari buku. Dengan durasi sama-sama 15 menit, saya bisa menyerap informasi jauh lebih banyak dibanding duduk menyimak persentasi. Kecuali bila belajar olah foto/desain Photoshop dan Corel Draw saya wajib bersabar mengikuti toturial via audio visual. Ah, dasar manusia teks.

Harap maklum tiap orang memang punya gaya belajar yang beda sesuai modalitasnya. Dosen Unesa, Dr. Marta Adi pernah bilang, “Ada orang jenis audio yang cepat menyerap ilmu melalui telinga. Ada manusia visual yang suka menangkap info lewat mata, dan ada pula individu kinestetik yang cepat mahir bila melakukan praktik secara langsung.”

Pada awalnya istilah “zoom” itu familiar digunakan di dunia camera atau fotografi. Berkat fitur zoom, kameramen dapat merekam ulah cendrawasih dari kejauhan. Wartawan foto juga dapat menangkap ekpresi wajah presiden tanpa harus mendekat dengan risiko disaduk sepatu paspampres. Begitulah kiranya dengan aplikasi meeting Zoom. Teknologi ini berjasa mendekatkan orang yang sedang physical distancing ke dalam sebuah ruang pertemuan virtual yang luas.

Tapi ingat, fitur zoom di kamera itu ada dua jenis: zoom in (mendekat) dan zoom out (menjauh). Pertemuan-pertemuan online memang sanggup melakukan “zoom in” aneka gagasan dan pengalaman. Tetapi dalam waktu yang bersamaan aplikasi meeting tersebut diam-diam juga melakukan “zoom out”. Secara perlahan menjauhkan individu dari hangatnya sesrawungan alami.

Ya, pada akhirnya perangkat zoom hanya mampu mendekatkan kita di dalam dunia maya, bukan dunia nyata. Padahal manusia butuh sentuhan fisik, jabat tangan, dan bergandeng tangan untuk membangun kebersamaan dan merasakah indahnya persaudaraan.

Semoga pandemi corona dapat segera berlalu. Sehingga kita bisa leluasa mengombinasi pertemuan virtual dengan perjumpaan aktual. Sebab keduanya pasti akan memperkaya hidup kita.

(adrionomatabaru.blogspot.com)

Ilustrasi: UVA Arts & science




Previous
Next Post »