Sejak kepergianmu yang mendadak pagi tadi, sejumlah
lagu-lagu nelangsamu kembali berkumandang di medsos, televisi, di benak penggemarnya.
Dari sekian nomor lagu Didi Kempot, yang terus terngiang di telinga saya adalah refrein Stasiun Balapan yang fenomenal itu:
Janji lunga
mung sedela, malah tanpa kirim warta
Lali opo
pancen nglali, yang eling mbok enggal bali.
Saya merasa lirik ini mewakili kesantunan Didi,
khas orang Jawa. Dalam derita toh dirinya masih memegang etika. Tidak ada ungkapan kemarahan
maupun mencela. Sambil menggenggam sejumput harapan dia memilih menyampirkan
kalimat: “yen eling mbok enggal bali.”
Simaklah kata “enggal” yang dipakainya. Diksi yang
bermakna “segera” ini masih memuat penghormatan, karena diucapkan dalam kategori ragam bahasa krama (halus), bukan bahasa ngoko (kasar). Padahal sebagai
pria yang hatinya sedang ambyar, sah
saja dia menggunakan: yang eling mbok “ndang”
bali.
Saya suka lagu-lagu Didi Kempot, dan kerap
mendendangkan bersama teman-teman saat reuni atau acara gathering. Lirik-lirik
ciptaannya yang membumi dan santun membuat saya bangga menjadi orang Jawa.
Setidaknya keberadaan lagu-lagu itu dapat
mengimbangi sebagian lirik-lirik lagu campursari yang cenderung saru, bahkan kadang vulgar. Ambil misal
lagu Ratna Antika yang syairnya berisi tentang pria tepedaya janda beranak lima. "Angge-angge orong-orong, ora melok nggawe melok momong". Sedang si janda tetap berkilah, meski janda dirinya masih "enak rasane" dan bisa "diwolak-walik kaya nggoreng tela."
Setelah kepergian Didi saya berharap akan lahir generasi
penerusnya yang mau menghasilkan karya dengan muatan lokalitas yang membanggakan.
Tentu juga dengan tetap berbasis pada unggah-ungguh dan tata krama luhur jawa,
seperti yang diteladankan oleh “The Godfather of Broken Heart“ kita itu.
Sugeng tindak menuju alam kelanggengan, Mas Didi. Jembara kubure, padhanga dalane. Diterima
semua amal kebagusannya.
adrionomatabaru.blogspot.com
Foto: suara.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon