MENCUCI KATA
Diam-diam pandemi ternyata juga mengusik kehidupan berbahasa.
Setidaknya sejumlah kata dipaksa pulang kembali ke arti harfiahnya, balik kepada
makna denotatifnya.
Tanpa sadar kata “cuci tangan” yang kita gunakan
sejauh ini telah meluas maknanya, konotatif, bahkan kerap bersayap. Seringkali dipakai untuk menjelaskan
perilaku yang tidak bertanggung jawab, jurus para koruptor yang berkelit menghindari
jerat hukum. Atau langkah licik pejabat yang enggan mengakui dampak negatif
dari kebijakan yang telah ditekennya.
Namun hari-hari ini, kata cuci tangan benar-benar
berarti mencuci tangan, tanpa tanda petik di atasnya. Mencuci jari tangan
dengan sabun, digosok-gosok secara cermat, lalu diguyur air mengalir.
Sering-sering mencuci tangan adalah protokol kesehatan yangdianjurkan. Realitas
ini tak urung menyadarkan kembali akan bimbingan Kanjeng Nabi, agar kita rutin
mencuci tangan (baca:bersuci) sedikitnya lima kali dalam sehari semalam.
Demikian juga dengan kata “jaga jarak” sebagai
terjemahan dari physical distancing.
Sejauh ini kita mengenal kata “jaga jarak” hanyalah tulisan imbauan yang nempel
di bokong truk gandeng. Dalam konteks politik dan diplomatik jaga jarak
dimaknai sebagai langkah untuk tidak memberikan
dukungan total. Atau semacam sikap ambigu, jurus “wait and see” sembari menunggu perkembangan situasi. Dalam dunia
pergaulan anak muda jaga jarak biasanya dilakukan oleh perempuan yang enggan
menampik taksiran lelaki secara frontal.
Kini jaga jarak benar-benar persoalan fisik, bukan
kias, menjaga jarak antara orang per orang setidaknya dua meter, menghindari
kerumunan agar tidak tertular virus, yang celakanya kini banyak dibawa oleh OTG
(orang tanpa gejala).
Maraknya imbauan “cuci tangan” dan “jaga jarak”
adalah protokol kesehatan logis yang mestinya
ditaati semua pribadi, tanpa kecuali. Tetapi bila dicermati boleh jadi pandemi ini merupakan cara alam untuk
mengembalikan semua kepada asalnya, mengembalikan segala sesuatu sesuai
proporsinya. Back to denotatif.
Tagar #dirumahaja atau ajakan stay at home, seolah menjadi koreksi bagi kehidupan moderen yang mobilitasnya
begitu tinggi, lintas batas, mengglobal, interaksi intens, berkerumum massal, memuja
keriuhan, serta berbasis di luar rumah. Rumah
sejatinya adalah tempat ke”diam”an, bukan sekadar penginapan atau persinggahan.
Sampai hari ini gerbang sekolah masih digembok, semua
siswa diliburkan. Tanpa persiapan memadai mereka diminta belajar dari rumah
secara daring. Anjuran study from home
(SFH) memaksa kita untuk menerima kembali ajaran guru bangsa Ki Hajar
Dewantoro, bahwa rumah memang merupakan salah satu dari tri pusat pendidikan.
Rumah justru merupakan sekolah pertama bagi anak.
Selama ini lembaga pendidikan formal sudah kelewat
agresif merebut jam bermain anak-anak, atas nama upaya mencerdaskan tunas bangsa.
Begitu bersemangat menerapkan konsep belajar sehari penuh (fullday school) kendati kadang sarana dan SDMnya boleh dibilang
belum memadai.
Bak gayung bersambut, upaya tersebut diamini sekian
banyak walimurid “modern” yang pasrah bongkokan,
menyerahkan seluruh urusan pendidikan anaknya ke sekolah. Mereka menggumamkan ucapan “serahkan semua kepada ahlinya”, tapi diam-diam menyelipkan agenda egoistis: agar
dapat lebih bebas beraktivitas di luar rumah.
Agaknya banyak yang sudah lupa bahwa pada akhirnya tanggung jawab pendidikan
anak tetaplah di pundak orangtua masing-masing.
Yang pasti covid menggugah kepada semua pihak bahwa
kesehatan adalah faktor paling pokok dalam kehidupan. Health is nomer one, kata bule Belanda. Kerugian ekonomi bisa
dicari, tapi hilangnya nyawa tidak bisa diganti oleh asuransi manapun. Maka seyogyanya semua pihak menjaga kesehatan
badan dengan penuh kesadaran. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang
kuat. Men sana in copore sano, bahasa
Latinnya.
Lebih jauh, sebenarnya yang harus disehatkan bukan
raganya saja tetapi juga jiwanya. Bahkan semestinya tidak cukup hanya sehat
jiwa raga, tetapi juga perlu sehat akal, sehat ekonomi, sehat ideologi, sehat
politik, sehat sosial, sehat budaya, dan sehat dalam beragama.
Ufh, tapi sebaiknya saya sudahi saja tulisan ini.
Sebab, bukankah beberapa penggal kata yang barusan
terketik adalah istilah konotatif semua?
(Katanya tadi mau back to
denotatif hehehe....)
adrionomatabaru.blogspot.com
Foto: rspkucepu.com, fb.udcapella
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon