Di pojok halaman Indomaret, seorang pedagang duduk bersimpuh. Menghadap keranjang
plastik yang masih berisi banyak makanan tradisional: gethuk dan sawut. Jenis
mata dagangan yang tidak begitu marketable.
Padahal saat berbuka sudah lewat cukup lama. Malah satu
jam lagi akan masuk batas jam malam pemberlakukan PSBB. Dalam diam mungkin
perempuan paruhbaya itu mewiridkan harap, “Gusti, nyuwun paringi
setetes rezeki.”
Keberadaan pedagang kecil seperti ini memang
menjadi dilema di tengah upaya penanganan pandemi corona. Pendekatan kesehatan
harus menemukan benturannya dengan pendekatan ekonomi. Ekonomi “subsisten”
pula. Sebuah aktivitas ekonomi yang sekadar untuk menyambung nyawa.
Sungguh banyak kelompok rentan yang terdampak wabah.
Mereka adalah sebagian dari sadulur-sadulur
kita yang gigih mencari nafkah, tanpa banyak mengharap bantuan orang lain
maupun pemerintah. Secara kuantitas jumlah mereka tidaklah sedikit dan berada
di banyak profesi mulai dari pedagang kecil, pengasong, sopir lin, penambal ban,
pekerja serabutan, buruh lepas, pengangkut sampah, hingga tukang parkir.
Mereka bukan kelompok yang agresif berburu operasi pasar
murah, pembagian sembako dan makanan gratis yang diadakan kantor instansi,
asosiasi, atau perorangan, karena mereka tidak memiliki grup WA.
Bukan pula orang yang dekat dengan penguasa di level
bawah, macam RT-RW-lurah, yang punya kuasa menentukan ke mana kupon sembako
harus didistribusikan. Juga bukan anggota tim sukses yang pernah “berjasa”
dalam kontestasi pilpres, pilkada, dan pilkades kemarin.
Walhasil mereka tetap bekerja di tengah keriuhan
kampanye physical distancing dan stay at home, mesti tetap dirambati rasa waswas terkena virus. Harus tetap memeras
keringat #tidak di rumah aja, karena itulah
satu-satunya cara untuk menjaga keberlangsungan hidup.
Inilah kelompok orang yang masih punya rasa malu,
sehingga pantang untuk meminta-minta, apalagi harus berjubel berebut jatah,
yang sebetulnya juga merupakan haknya. “Gusti Allah mboten sare,” diimani dengan teguh.
Itulah sebabnya distribusi bantuan korban Covid-9 harus
benar-benar tepat sasaran. Akurasi data penerima
dana sosial BLT dan sembako menjadi pertaruhan serius. Sebab tidak semua duafa
bersedia merendahkan diri, tengadah mengharap iba. Sayangnya, justru di situlah
letak persoalannya.
Tidak gampang mendapat data valid, butuh proses sinkronisasi
dan koordinasi untuk mencocokkan list nama.
Realitas pelaksanaan di lapangan memang ada kendala. Masih terbetik berita ada
pajabat keliru mendapat bagian, atau kerabat dekat pembagi bantuan menjadi
pihak yang diuntungkan. Belum lagi tata manajemen keuangan negara yang tidak
membolehkan double pemberian bantuan
pada sasaran yang sama, atau adanya pemilahan bansos pusat dan bansos pemda
agar tidak tumpang tindih.
Untungnya masih banyak pihak-pihak yang berinisiatif
turut mengatasi keadaan. Mereka menghimpun dana dan natura lalu secara sukarela
membikin gerakan kepedulian seperti “jaga tetangga” atau “tetangga penyangga
kritis (tepis).” Para relawan ini aktif mendatangi kelompok rentan dengan
memberikan bantuan, sebelum yang bersangkutan memintanya. Pemberian yang diantar
dengan hati akan membuat nyaman para penerimanya.
Ungkapan “tangan di atas lebih baik daripada tangan
di bawah” hendaknya dimaknai lebih bijak. Para pemberi jangan segera
merasa lebih baik, lalu dengan gagah mengambil posisi “tangan di atas” dalam memberi
bantuan, apalagi disertai gencarnya publikasi. Seyogyanya tetap menjaga
perasaan dan kehormatan mereka. Sebab, sebagai sesama insan, semua orang berhak
menyandang predikat makhluk mulia.
Bahkan sesungguhnya mereka adalah kelompok istimewa.
Rasa terima kasih dan airmata harunya, tatkala menerima pemberianmu, boleh jadi
akan mengkristal menjadi “golden ticket”
yang bakal mengantarkanmu menuju pintu surga.
Bukankah doa mereka tidak terhijab? (*)
Foto: voaindonesia.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon