Memberi nasihat itu baik, bahkan mulia. Tetapi
terlalu cepat memberikannya bisa berakibat kontraproduktif. Terlalu sering menasihati
hingga overdosis juga berisiko untuk tidak digubris. Ini berlaku untuk semua
orang, apalagi kepada anak remaja.
Menurut psikolog Drs Asep Haerul Gani, kita sebaiknya jangan
tergesa-gesa memberi nasihat, apalagi jika tidak diminta. “Kamu jangan palentinan
ya, itu tidak boleh, itu haram, itu budaya kapir, dalilnya ini .. ini... ini...,”
katanya memberi contoh di hadapan peserta pelatihan “Teacher as Coach” di Sekolah
Alam Insan Mulia (SAIM), Surabaya, Senin, kemarin.
Coaching seperti
itu, meskipun nasihatnya baik dan dasar dalilnya kuat, justru tidak mengena di benak anak. Sebab
bisa jadi respons anaknya: “Ah, emak payah, gak ngerti anak jaman now.” Padahal
seharusnya didengar dulu pendapat anak tentang Valentine itu apa. Ditanya terus
dan digali terus unsur positif dan negatifnya budaya itu, sehingga lama-lama
anak menemukan sendiri jawabannya, dan pada akhirnya memilih sikapnya sendiri
(yang sesuai dengan kehendak kita).
“Masalahnya, kita sering tidak sabar dengan
prosesnya. Malas bertanya jawab yang kadang menghabiskan waktu. Padahal itulah
awal dari jalinan komunikasi kita dengan mereka. Kita maunya langsung saja kasih nasihat,” kata
Kang Asep, panggilan akrabnya.
Maka ketrampilan bertanya menjadi kata kunci. Dalam
melakukan coaching terhadap seseorang,
hendaknya disadari bahwa kalimat yang diucapkan seorang klien tidak selalu sama
persis dengan realitasnya. Sebab dalam berbicara orang kadang melakukan
distorsi, menyortir informasi. Bisa juga tanpa sadar terjadi kesalahan
bernalar, lantaran dia melakukan generalisasi (gebyah uyah, pukul rata).
Berikut ini contoh generalisasi.
“Semua lelaki memang buaya,” kata seorang klien dengan
wajah kusut, kepada Kang Asep, pada sesi awal konsultasi.
“Lho kalau begitu saya buaya dong, kan saya laki-laki,” respons Kang Asep yang ingin
meluruskan generalisasi yang diucapkan oleh kliennya.
“Ya enggak lah, Kang, gimana sih.”
“Kamu punya ayah laki-laki, punya adik laki-laki.
Berarti ada dua buaya di rumahmu, dong”
kejar Kang Asep.
Klien itu marah karena tidak terima ketika
disebutkan ayah dan adiknya buaya. Tapi kemudian dia menangis keras dan mulai
curhat bahwa yang dimaksud buaya adalah kekasihnya, yang telah membuatnya
terhina.”
Kemampuan bertanya menjadi syarat utama
keberhasilan coaching. Sayangnya kita
enggan memanfaatkan kehebatan metode
bertanya. Bahkan hampir semua guru di sekolah memulai pelajaran dengan
menerangkan, dengan memberitahu.
Ada sih
yang memulai dengan apersepti, melontarkan pertanyaan pretest. Tapi itu sekadar
untuk mengetahui kondisi awal pengetahuan siswa sebelum dituangi dengan
pelajaran baru. Bertanya bukan benar-benar bertanya tentang sesuatu yang ingin
diketahui dan dipelajari oleh siswa.
Padahal Rasulullah, banyak sekali memberikan
informasi dengan cara mengajukan pertanyaan terlebih dahulu. Kepada sahabat,
beliau melontarnya tanya: “Tahukah kalian, apa itu penyakit wahm?” Ketika sahabat menggeleng dan
berucap, “hanya Allah dan Rasulnya yang
tahu,” maka Nabi baru menerangkannya.
Demikian juga ketika ada pemuda menghadap beliau
untuk mohon izin berzinah, Nabi tidak langsung mencegah dengan mengatakan haram.
Tapi dengan bertanya balik: “Seandainya perempuan yang dizinahi itu ibumu,
bagaimana pendapatmu?” Pria itu tentu menolak dan akan marah kepada pelakunya.
Nabi bertanya lagi, “Seandainya perempuan yang dizinahi itu adik perempuanmu
bagaimana?” Pria itu akhirnya menyadari sendiri betapa tidak pantasnya melakukan
zinah.
Bagaimana pendapat Sampeyan? (Lho kok pertanyaannya
dipasang di bagian akhir?, mestinya kan pada awal tulisan tadi ya..hehehe....)
adrionomatabaru.blogspot.com
Sapa: zein abidin, ratna , martadi, syamsul sodiq
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon