Konon,
Tuhan senang pada angka ganjil. Sementara manusia lebih memilih yang genap,
malah kadang cenderung menggenap-genapkan. Mungkin saja lantaran genap lebih identik dengan
kebulatan, keutuhan, kemenyatuan, dan sebangsanya,.
Karena itu instansi pemerintah
hingga organisasi sosial, misalnya, sering mengadakan peringatan malam
dasawarsa (genap 10 tahum) berdirinya lembaga itu. Atau sewindu jumenengan (nah, delapan, genap lagi).
Pak guru juga memberi nilai 100 buat pekerjaan sisiwa yang sempurna.
Untuk kepentingan praktis,
bilangan genap memang membuat pedagang grosir gampang membendel-bendel barang
dagangannya. Dan secara politik, kegenapan (baca: kebulatan dan keutuhan) amat
berguna untuk “stabilitas” dan mempertahankan status quo kekuasaan. Tak
merepotkan, tak mencuatkan gejolak sosial.
Kumpulan anjuran berperilaku
sosial pun menjurus pada hal-hal yang wajar: ”Jangan bertingkah yang ganjil dan
aneh-aneh.” Bahkan orang Jawa merumuskan bahwa pribadi yang dewasa ialah sosok
yang bisa empan papan, tak neko-neko, bisa diterima masyarakat, dan
sak madya dalam tindak dan relasi
sosialnya.
Mungkin karena itu maka kreativitas
(yang selalu unik), kompetensi, dam ekspresi (yang cenderung berbeda dengan
orang lain) cenderung dipangkas diam-diam, bahkan sebelum embrio itu lahir.
Memang ada banyak juga yang muncul kepermukaan, Tapi jadinya cuma ekspresi yang
aneh-aneh. Sangat artifisial dan wujud dari ikut-ikutan mode. Beberapa di
antaranya malah hanya cermin dari
ketidakberesan jiwa.
Petugas di loket layanan umum,
mulai dari telepon hingga kasir swalayan juga suka “menggenap-nggenapkan”
(bukan dalam arti menyempurnakan).
Istilahnya pembulatan. Celakanya pembulatan itu selalu ke atas yang
berarti merugikan pihak konsumen. Taruhlah orang bayar rekening
listrik habis Rp 219.970,00 maka petugas loket bakal membulatkan Rp 220 Ribu. “Tak
ada uang kembaliannya.” Itu kilah klasik yang telah mengkristal menjadi kewajaran,
bahkan kebenaran. Sudah cukup bagus bila lantas digenapi dengan sebiji permen.
Sementara itu, hukum-hukum dan
ketentuan Allah kok ndilalah sering
berjumlah angkah ganjil. Salat pun lima waktu. Langit dibikin lapis tujuh. Malam
Lailatul Qadhar banyak diyakini bakal turun di dalam satu
malam pada tanggal-tanggal ganjil di sepertiga akhir Ramadhan. Orang wiridan dan berdoa suka dengan bilangan
ganjil, seperti diulang tiga kali, tujuh kali, atau 33 kali. Lha, asmaul husna yang kita kenal juga
berjumlah 99.
Entah apa rahasia di balik
keganjilan seperti itu. Tapi kadang saya curiga jangan-jangan justru dalam
ganjil itu terletak kebenaran yang sejati atau minimal terdapat kebenaran dalam perspektif yang lebih
lebar dan tinggi. Sayang orang gampang semena-mena menarik dikotomi: genap sama
dengan positif sedang ganjil berarti negatif. Malah kerap dibikin pemisahan
tegas. Yang masuk dimensi genap adalah
rasional, modern, sistematis. Sedang yang tidak logis, janggal, naïf, gaib,
klenik, misterius masuk wilayah ganjil.
Maka bila bayi atau binatang yang lahir dengan kondisi tubuh atau
jiwa yang tidak utuh segera disebut cacad atau tuna. Kalau lantas lahir kambing
berkaki lima dari kandang Pak Somad, segera rubrik misteri di koran besar-besar
menulis: lahir kambing ganjil dan ajaib. Padahal bisa jadi itu semua pertanda,
yang orang-orang bijak lantas menunduk, “Allahuakbar,
betapa Tuhan Maha Besa”
Dalam musibah kecelakaan pesawat
terbang atau gunung meletus yang kemudian terdapat bayi yang selamat adalah
kenyataan walau sangat tidak masuk akal. Tapi bila direnungi, bukankah itu
kebenaran pada tataran yang lebih tinggi? Sang Maha Penguasa mencipta hukum
kausalitas logis (sunnatullah) dan
sekaligus berwenang menampilkan bias-bias “penyimpangannya”
Para konseptor, perencana, manajer,
merancang begitu rinci semuanya secara kegiatan hingga target sasaran dengan
berdasar pola kecenderungan (tren), potensi, dan peluang yang ada. Demikian rinci
hingga terasa begitu pasti. Orang memang menyukai kepastian. Dan bila dalam perjalanan
waktu ternyata semua itu berantakan maka perlu segera disadari bahwa sang penentu
kepastian bukan tren, profesionalitas, dan peluang tetapi sang Maha Penentu.
Agaknya keganjilan punya arti
sangat penting. Ia bisa menundukkan ketakaburan manusia. Yang kedua , pada
klimaksnya malah bisa menjadi tolok ukur keimanan seseorang. Sebab bukankah Allah
telah membuat peristiwa-peristiwa ganjil yang ekstrem dan kita wajib meyakini
kebenarannya? Mulai dari lahirnya Nabi Isa AS yang tanpa ayah, Nabi Ismail yang
diganti ternak tatkala pedang menepel dileherya, hingga perjalanan Isra’ Mikraj
Nabi Muhamnad ke langit?
Tapi ngomong-ngomong soal ganjil
– genap, ada sejumlah orang yang nasibnya tergolong malang justru lantaran tidak
masuk kategori ganjil maupun genap ini. Siapa mereka? Dengan ungkap bahasa yang
bagus almarhum Buya HAMKA menjawab: ”Yaitu orang-orang yang datangnya tidak
menggenapkan dan perginya tidak mengganjilkan kelompok.”
Ah,
betapa sedihnya jadi pribadi yang tidak diperhitungkan seperti itu. (Adriono)
Penulis
adalah pemerhati masalah sosial budaya
Sumber
Foto: peperonity.com
Sign up here with your email
1 comments:
Write commentsTerimakasih pak atas tulisannya. Saya merasa beruntung menemukan tulisan bapak. Smoga bapak sehat selalu . Salam dari Pontianak
ReplyEmoticonEmoticon