ANJANGSANA – ANJANGSINI



Ketika tiap detik orang bisa saling sapa lewat dunia maya, masih perlukah anjangsana? Saat ucapan Idul Fitri gampang dikopi paste, lalu sekali pencet bisa diunggah ke medsos, dan disend ke semua nama, masih relevankan mudik fisik lalu menghabiskan waktu salam-salaman door to door? Sungguh tidak praktis bukan? Bahkan mungkin tidak rasional  ya?

Tapi manusia kadang memang aneh. Dia bukan melulu makhluk rasional.  Bahkan dalam banyak hal kita ini makhluk emosional. Agaknya raga, sebagai bagian dari diri kita, sekali tempo juga meminta haknya untuk mendapat porsi perhatian. Lalu dan dalam tradisi mudik dia  menemukan momentumnya.

Ketika aktivitas hidup banyak terambil alih oleh kerja pikiran dan imaji, maka raga menjadi sisi yang tersisihkan. Saban hari kita googling cari informasi, sharing dengan sesama melalui dunia maya, bermain game di dunia virtual, rapat  dengan teleconference, berbincang saling pandang jarak jauh dengan video call, dan mengerjakan tugas dan bisnis secara online, sehingga keberadaan tubuh kita menjadi pasif, seperti teronggok tanpa fungsi. 

Lalu setahun sekali, orang seperti tersadarkan betapa ketemuan tatap muka dan saling sapa manual  tidak bisa tergantikan dengan perangkat  IT canggih.  Sungkeman, cium tangan, sentuhan, elusan, dekapan, tepuk pundak, tos, hingga cipika cipiki adalah kehangatan natural yang tidak terpenuhi dalam relasi dunia digital. Agaknya orang tetap butuh bertemu face to face, betapapun ribetnya proses yang harus dilalui untuk mencapai lokasi perjumpaan darat.  Orang juga butuh seru-seruan dengan membikin acara halal bi halal.

Anjangsana, unjung-unjung, silaturahim memberi kelegaan tersendiri. Bahwa ngobrol dan  berkelakar ringan sambil mengunyah emping rengginang nastar dan menyeruput sirup dingin Marjan supermanis adalah kegiatan “sepele” yang ternyata membahagiakan.

Menanyakan kabar sanak saudara, mengenang kekonyolan masa muda menjadi bahan pembicaraan  yang menghidupkan suasana hari-hari Lebaran. Asyiknya perbincangan ngalor ngidul kerap membuat kita jadi lupa waktu.

Kalau sudah begitu anak-anak kita yang gelisah. Mereka diajak anjangsana, memang hanya sebagai  figuran yang tidak banyak diberi peran. Boleh jadi silaturahmi adalah acara yang paling bikin bete bagi mereka. Saya perhatikan, saat bertemu saudara yang sebaya usianya, anak-anak remaja sekarang tidak terlihat akrab bercengkrama seperti kita dulu.  Mereka saling sapa sejenak lalu larut kembali menekuri androidnya masing-masing. Mereka baru kerasan manakala sang tuan rumah punya wifi berkecepatan joos.

Anak-anak jaman now sepertinya telah memiliki dunianya sendiri. Lihatlah, meski fisik mereka berada dalam ruang tamu keluarga besar, tapi mata mereka tetap ke layar gadget. Mereka sibuk chatting dengan teman-teman sebaya yang tersebar di mana-mana. Pertanyaannya: apa mereka kelak juga butuh unjung –unjung gaya konvensional seperti kita ini? Entahlah. Boleh jadi bentuknya bakal berbeda.

Tetapi betapapun raga akan selalu membutuhkan kehadiran raga yang lain. Jiwa, raga, emosi, dan pikiran agaknya selau mencari keseimbangan. Sebab ketidakseimbangan hanya akan melahirkan ketidakbahagiaan. Mungkin begitu.

Monggo dilanjut unjung-unjungnya. (adrionomatabaru.blogspot.com)
Suguhan kue dari: aset.kompas.com

Previous
Next Post »