OMAH GUBUK MAS YON


Dari sekian banyak lagu Koes Plus yang kusuka, ada satu nomor yang melekat erat dalam benak saya. Dari serial album Pop Jawa, judulnya “Omah Gubuk.” Bait-baitnya berupa parikan atau pantun yang berisi pasangan sampiran dan isi. Sampiran mengambil setting kehidupan keseharian warga desa, sedang bagian isi bermuatan kritik sosial yang santun.

Sembari memberi penghormatan terakhir kepada Yon Koewoyo yang baru saja wafat, ada baiknya kita dendangkan kembali lagu dua menitan, yang sederhana dan enak di telinga itu. Liriknya bersahaja namun bila dicermati dalam maknanya.

Esuk-esuk adus rêsik njur lunga macul.
Ojo suluk wong kang bêcik ra mêsthi gundhul.

Awan-awan ora udan ojo payungan.
Yen ra doyan, mbok yo ojo melu kondhangan.

 Ref: Wong arêp ngundhuh klapa, ora biso menek.
Mbok ojo kandha-kandha, klapane elek.

Sore-sore lungguh ngêbuk dho mangan tempe.
Ojo ngece omah gubug omahe dhewe.

Bisa didengar di sini: https://youtu.be/joEDuPODL1c
Pagi-pagi segera mandi, lalu berangkat mencangkul” adalah gambaran tentang giatnya kaum petani. Deskripsi ini kemudian digunakan untuk menegur agar kita tidak gampang terkecoh dengan penampilan. “Ojo suluk wong kang bêcik ra mêsthi gundhul.” Kata anak zaman now, yang jangan percaya pada casing. Don’t judge book from the cover.

Zaman dulu, moralitas orang dapat diukur lewat potongan rambutnya. Jika gondrong berarti dia orang urakan, sedang orang yang berambut pendek atau gundul pertanda orang yang baik. Personel Koes Plus, yang semuanya gondrong, mencoba menampik stereotipe itu. Dalam konteks kekinian,  melihat kualitas iman sesorang juga jangan dari sorban beserta asesoris yang dikenakan.

“Siang-siang, tidak hujan, jangan payungan.” Jadi orang hendaknya tidak perlu lebay, apalagi resek. Dikritiknya pribadi-pribadi yang suka nyinyir terhadap makanan yang disuguhkan orang. Apalagi sampai menyalah-nyalahkan tindakan orang yang mengadakan hajatan ini itu. “Kalau memang tidak doyan ya ndak usah ikut kondangan.”

Refrain lagu ini adalah bagian yang paling dalam maknanya. Betapa banyak orang-orang berkarakter seperti ini. Gampang menyalahkan orang lain dan keadaan. “Hendak mengunduh kelapa, tidak dapat memanjat, malah berkoar-koar kelapanya yang jelek.”

Kelakuan mencari-cari kambing hitam seperti itu, kayaknya kian marak saja sekarang. Siswa bodoh menuding  gurunya tidak pandai mengajar. Karier macet ,karyawan menyalahkan sistem manajemen perusahaan. Seniman tak berbakat mencibir rendahnya apresiasi seni masyarakat,  wira usahawan frustrasi menuduh pemerintah tak becus ngurusi negeri. 

Dalam dunia psikologi terdapat analogi yang mirip dengan ungkapan Koes Plus itu, teori “anggur masam” namanya.  Digambarkan ada seekor musang yang tidak pandai memanjat, maka diapun bercerita kepada semua satwa bahwa anggur yang bergerandulan di pohon itu rasanya masam. 

Pantun akhir lagu ini dipungkasi dengan suasana sore hari, duduk santai sambil makan tempe. Kalau sudah begitu, “tidak usah mengejek rumah gubuk, yang ternyata, rumah kita sendiri.”  Betapa seringnya kita mengejek diri, merendahkan produk dalam negeri, bahkan meremehkan potensi dan prestasi negeri sendiri.  Mental inlander dan sikap minder kolektif seperti ini, sudah selayaknya dibuang jauh-jauh.

“Ojo ngece omah gubuk dhewe......”

adrionomatabaru.blpogspot.com
# Semoga Mas Yon Koeswoyo tidak bertemu omah gubug, tetapi memasuki omah indah di sorga.


Previous
Next Post »