PAWON



Lama tinggal di perkampungan kota saya jadi agak terlupa dengan pawon. Memori tentang dapur desa itu menyembul lagi tatkala saya melihat-lihat koleksi museum Surabaya, di Jl. Tunjungan, tepatnya di gedung Siola, siang tadi.

Di salah sudut ruang pameran terdapat replika pawon jaman semono. Artistik, mirip karya seni instalasi. Ada dandang kuali, kukusan, juga kemaron. (Bisakah Sampeyan menyebut  sendiri benda-benda yang berada dalam foto di bawah ini? Bila bisa, dapat sepeda).

Konon pawon adalah akronim dari “papan” dan “awon/awu”. Artinya, tempat yang menghasilkan abu atau tempat untuk memasak dengan menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya.  Untuk mulai masak harus diawali dengan “cethik geni”,  memantik api. Dan ini bukan pekerjaan gampang. Sekali coba tidak otomatis bisa.

Pawon menjadi salah satu dari pusat kegiatan rumah tangga. Bila pagi-pagi ada asap membubung dari cela genting dapur, itu pertanda bahwa kehidupan ekonomi keluarga masih berjalan. Berarti masih ada beras yang dapat ditanak, masih ada sayur dan lauk yang dapat dimasak. “Dapur tidak ngepul” adalah ungkapan kritis yang cukup ditakuti. Kalau sekarang, dapur  tak berasap tak masalah, kan ada magic com atau bisa pesan Go-Food?

Pawon adalah pusat segudang rahasia. Berbagai resep jitu dan teknik olah rasa eksklusif dilahirkan di situ. Orang lain bahkan tak boleh tahu, lalu lahirlah istilah “rahasia dapur.” Dapur juga cerminan sosok pemiliknya. Apa saja yang dimasak, seberapa banyak kuantitas yang diolah, seberapa bagus mutu bahan baku yang dimasak menunjukkan strata sosial dan derajat selera penghuninya. Mungkin karena itu lalu ada olok-olok “dapurmu!”  yang berarti “tampangmu!”

Bagi saya pawon menyimpan sejuta kenangan. Dia mengisi masa bocahku. Ketika Desa Lawang tengah musim bedhidhing, saya menghangatkan tubuh dengan berlama-lama nongkrong di depan bediang pawon. Dari situ saya belajar cara mengatur kayu agar nyala tetap terjaga.

Saya biasa api-api di depan pawon sambil membenamkan sepotong singkong.  Begitu matang, kulit langsung dikupas. Hem..  aromanya segera mengabarkan kelezatan “roti sumbu” itu.  Di lain hari saya juga membakar jagung. Begitu bersemangat dan ingin segera menikmati hasilnya, api terus kukipas dan jagung kubolak-balik dengan emosi.

Lalu apa yang terjadi? Meski permukaan jagung terlihat gosong, ternyata di dalamnya masih mentah. “Itu kebrangas namanya, apinya kebesaran,” kata embah saya.  Ternyata untuk membuat jagung bakar saja kita harus bersabar,  perlu taat terhadap proses dan SOP. Jagung yang matangnya dipaksakan tidak enak dimakan, malah bisa bikin sakit perut.

Sampai di sini saya jadi teringat pada ulah sebagian orang-orang jaman sekarang. Perilaku sosok-sosok yang kebrangas. Di luar tampak gosong tapi dalamnya belum matang sempurna. Boleh jadi itu karena belajarnya tergesa-gesa, cuma melahap pengetahuan instan, dan ngangsu ilmu tanpa guru. Hasilnya, selalu merasa benar sendiri, kendati sebenarnya belum memadai akumulasi ilmu yang dimiliki.

Kalau jagung setengah matang bisa bikin perut kembung, pribadi kebrangas bisa bikin suasana menjadi panas. (*)  (adrionomatabaru.blogspot.com)


Previous
Next Post »