ADIKARYA LUDRUK AGUSTUSAN

  
Apa yang Anda dapatkan dari nonton pergelaran ludruk Agustusan kelas erte? Biasa-biasa saja atau bahkan boring?

Saya tidak. Saya justru menemukan luapan rasa gembira dalam kebersamaan, bahkan mendekati rasa bahagia.  Seperti yang terjadi Sabtu malam kamarin di perumahan saya. Pementasan ludruk Markeso berlangsung meriah, dengan pemain yang murni warga erte lima sendiri. Lakon yang ditampilkan kali ini: “Branjang Kawat.”

Jangan engkau melihat pementasan mereka dengan kacamata sok seniman atau kritikus seni teater modern, sebab engkau pasti kecewa berat. Jangan pula membedah pertunjukan amatiran itu dengan kaidah struktur dramatik ala Aritoteles, sebab engkau akan menemukan setumpuk cela. Jangan berharap ada properti realis glamour ala Teater koma, atau permainan watak ala Bengkel Teater Rendra, sebab sebagain dari mereka adalah pemain dadakan --yang teknik olah vokal dan olah tubuh saja belum kenal.

Jadi, nikmati saja pergelaran di depanmu sebagai sebuah perayaan bersama tetangga yang begitu menyenangkan, sebagai sebuah teater kehidupan yang nyata. Maklumi saja jika sesekali soundsystemnya mendengung dan tukang lightingnya lupa pada tugasnya.  Mengharap pementasan berlangsung prima tentu tidak pada tempatnya. Lagi pula, bukankah untuk bahagia tidak perlu harus didahului dengan sebuah kesempurnaan?

Bagaimanapun Ludruk Agustusan adalah karya bersama yang patut mendapat tepukan.  Ini kerja besar yang melibatkan banyak pihak dan butuh setumpuk pengorbanan. Seni tradisional ini dimainkan warga dari berbagai profesi. Ada PNS, pegawai Jasamarga, kontraktor, pemilik salon, ustad, pedagang komputer, bakul pecel, hingga penjual bandeng presto,. Sukunya pun bermacam-macam. Ada suku Jawa, Madura, Sunda, Bali, dan Cina. Mereka kompak berkolaborasi menampilkan adikarya seni pertunjukan.

Semua dijalani tanpa pretensi muluk-muluk ingin disebut sebagai aktor panggung atau mengusung jargon nguri-uri budaya leluhur. Mereka berproses begitu saja dengan gembira. Berlatih berminggu-minggu, bahkan rela menolak pesanan katering, demi suksesnya perayakan hari kemerdekaan bangsanya.  Awak Ludruk Agustusan berjibaku dengan keterbatasan waktu, dana, dan kemampuan akting sebagian pemain yang pas-pasan. Tapi toh hasilnya begitu “oyee” dan menghibur.

Beberapa kali penonton yang duduk lesehan memberikan applaus tatkala menyaksikan adegan yang menarik. Mereka juga terpingkal-pingkal karena digelitik para dagelan atau karena ada pemain keliru akting, lupa naskah, atau kolor celananya tiba-tiba putus.

Branjang Kawat yang ditampilan adalah lakon heroik yang populer di masyarakat. Berkisah tentang pejuang pribumi yang menentang penjajahan Kompeni. Bambang Sutejo (Branjang Kawat), sebagaimana tokoh perjuang lokal umumnya, pada akhirnya harus kalah oleh pengkhianatan teman sendiri.  Branjang Kawat dapat diringkus Belanda, karena keculasan dua saudara seperguruannya (Markasan dan Matbakri) yang menjalin kerja sama dengan Belanda. Di samping itu Matbakri diam-diam juga naksir istri Branjang Kawat.

Terlihat ada pola yang sama pada beberapa legenda kepahlawanan daerah. “Sarip Tambak Oso” juga mengalami nasib serupa. Dia diringkus Belanda, gara-gara “pengapesan”nya (rahasia kesaktiannya) dibocorkan oleh sahabat seperguruannya sendiri, Paidi, yang menjadi antek Belanda. Lakon “Sogol Pendekar Sumur Gemuling” maupun “Maling Caluring” juga berkisah seputar hal itu.  Sejak dulu, panggung ludruk telah menyuarakan pesan moral yang substansial:  kemerdekaan tak bakal tercapai selama kaum pribumi tidak bersatu padu.

Usai pementasan, saya menyalami pemain ludruk satu per satu sebagai ucapan selamat yang tulus. Tak lupa menjabat tangan remaja karang taruna yang sukses berperan sebagai penabuh gamelan. Mereka membalas genggaman tangan saya dengan erat disertai sorot mata berbinar-binar. Ya, kerja keras telah terlunaskan dengan kesuksesan pementasan. Ini malam perayaan kemerdekaan yang mengesankan.

Sungguh senang bertetangga dengan warga yang kompak dan ramah. Itulah sebabnya saya kerasan tinggal di sini. Menjadi penghuni perumahan pinggiran kota metropolitan yang masih bercita rasa “ndeso.” Enjoy berada di tengah lingkungan yang masih beratmosfir budaya kampung.  

Sukses erte lima erwe sebelas, Bluru Permai, Sidoarjo. Agustusan tahun depan kita ludrukan lagi. (*)

adrionomatabaru.blogspot.com   





Previous
Next Post »