Pelan-pelan saya mulai menyadari bahwa keadaan tengah
berubah, tidak bisa lagi seperti kondisi sebelum pandemi. Setidaknya itu saya
mengalaminya ketika mengurus perpanjangan surat izin mengemudi (SIM) di kantor Satlantas
Sidoarjo, kemarin.
Memasuki kantor di Jl. Kartini suasananya relatif
lengang. Tidak seperti sebelumnya yang selalu terlihat pengantre berjubel di
depan loket atau kerumunan di ruang tunggu. Rupanya jumlah pengunjung sudah
dibatasi sejak awal melalui teknologi daring. Ya, pemohon SIM hari sebelumnya kudu
daftar dulu secara online di
laman E-SIM online Polresta Sidoarjo.
Begitulah, semua pemohon SIM kini diasumsikan sudah
menggenggam android semua. Saya jadi
membayangkan, mereka yang belum familiar dengan dunia digital tentu agak kerepotan.
Kiranya, melek literasi digital sudah menjadi prasyarat memasuki era kenormalan
baru ini.
Di tukang foto kopi saya sudah menjumpai pemandangan
berbeda. Mereka memasang tabir plastik bening. Agar tidak saling terciprat
ludah saat bicara atau terkena droplet
bila tiba-tiba bersin. Memasuki ruang tes kesehatan juga begitu, tempat duduk
antrean dibikin renggang. Pemohon dites suhunya dengan thermogun.
Selesai menyerahkan lembaran jawaban tes
psikologis, tangan kami disemprot handsanitizer. Menuju ke loket berikutnya yang letaknya di
gedung utama, kening pengunjung “ditembak” lagi lalu diminta cuci tangan pakai
sabun di wastafel baru dekat pintu masuk.
Ternyata suasana jadi terasa nyaman manakala semua orang
dipaksa taat pada protokol kesehatan. Mereka berbaris rapi, pakai masker, jaga
jarak, dan menunggu antrean tanpa berisik. Mengisi formulir di meja secara
berjauhan. Kalau duduk juga mengikuti aturan, menghindari tanda silang yang
terpasang di sandaran kursi. Petugas langsung menegur begitu ada pemohon yang
main serobot ke depan, belum sadar aturan main yang baru.
Toh masih saja orang yang bingung tanya sana-sini.
Seorang pria tengah baya kesulitan mengisi blanko, padahal saya yakin dia bisa
baca tulis. “Tarif perpanjangan SIM A berapa, ya?”, padahal pada formulir yang
dipegangnya informasi itu ada semua.
“Terus yang titik-titik ini ditulis apa?” katanya kepada remaja putri di
sampingnya.
Kiranya, melek literasi menjadi keharusan. Sekadar
bisa baca-tulis tidaklah cukup. Banyak
orang bisa baca tulis, tapi tidak otomatis mampu memahami informasi tertulis
yang sudah terdeskripsi dengan rinci. Buktinya, bapak itu belum juga “pede” dan
takut salah untuk menuliskan data di selembar dokumen. Dapat diduga, selama ini
budaya oral pasti masih mendominasi pola komunikasi sehari-harinya.
Semua prosedur pengurusan SIM saya lewati dengan
lancar. Proses pengambilan sidik jari, tanda tangan digital, foto diri, hingga
pengambilan SIM baru tidak butuh waktu panjang. Ini menggembirakan, meski saya
belum bisa benar-benar lega, karena masih berada di tempat umum. Berada di tempat
fasilitas publik yang pastinya setiap bendanya telah dijamah tangan banyak
orang. Masing-masing lima jari kanan saya tadi juga menempel berguling-guling
di kaca scanner sidik jari. Nafas juga sudah tidak nyaman karena belum kerasan
mengenakan masker.
Maka sebelum pulang, saya dan isteri Ari Saradan,
perlu celingukan lagi mencari air. Merasa perlu mencuci tangan lagi, meski tadi
sudah disteril dua kali. Semoga ini masih tergolong kehati-hatian yang wajar,
bukan gejala coronavirus phobia.
Akhirnya, suka atau tidak suka, kita memang tengah
menapaki realitas baru. Kewaspadaan menjadi kata kunci, mengingat masih banyak
saudara-saudara di sekitar kita yang masih bangga dengan perilaku sak karepe dewe.
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon