DI BAWAH LINDUNGAN PASAR


Saat mengantar isteri ke pasar kampung Bluru Kidul, pagi tadi, saya memandang pasar itu dengan mata baru. Menatap pasar adalah menyaksikan kompleksitas masalah di tengah wabah. Keramaian suasana pasar menjadi ilustrasi paling konkret tentang timpang tindih kepentingan dan tarik ulur aturan, imbauan, dengan eksekusi kebijakan di lapangan.

Kiranya saat ini pasar bukan lagi sekadar tempat bertemunya pedagang dan calon pembeli untuk  berinteraksi, bernegosiasi, lantas bertransaksi. Pasar telah dibebani peran baru yang tidak dikehendaki: patut dicurigai sebagai salah satu tempat rawan penyebaran virus Covid-19.

Meski disadari sebagai tempat rawan penularan virus, tidak gampang menindak pasar. Pemerintah dibikin gagap dan mendua dibuatnya. Sebab pasar beraspek multidimensi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena alasan pasar, demi denyut ekonomi, terbukti pintu “lockdown” tidak pernah bisa ditutup rapat-rapat.

Pasar adalah pusat pergerakan roda ekonomi, ajang distribusi barang, dan aktivitas sirkulasi rezeki. Ada sekian banyak pedagang mencari penghasilan, ada pembeli belanja kebutuhan sehari-hari, ada kuli angkut, jukir, bakul nasi, hingga copet mengincar peluang. Bisakah distop begitu saja, kendati atas nama kesehatan yang sangat masuk akal?  

Bukan hanya itu. Pasar menjadi muara pertemuan heterogenitas manusia, lintas strata sosial ekonomi,  etnik, tingkat pendidikan, wawasan, hingga kesadaran akan arti kedisplinan. Berbaur antara wong pasaran, wong omahan, pabrikan, embongan, hingga wong kantoran. Tentu tidak gampang memberlakukan penyeragaman perilaku.

Lihatlah, sebagian orang sudah tertib mengenakan masker dan berupaya menjaga jarak. Tetapi tidak sedikit pula yang abai dengan segala macam imbauan protokol kesehatan. Di mata mereka, kondisi sepertinya sedang baik-baik saja, meski Sidoarjo diviralkan sebagai zona merah.

Lapak pedagang sudah diatur direnggangkan untuk memenuhi SOP physical distancing. Tetapi siapa sanggup mencegah emak-emak yang agresif berdesakan, berebut ingin dilayani lebih dahulu tanpa perlu mengembangkan  budaya antre?

Pasar menyediakan aneka rupa kebutuhan hidup, mulai sembako, jajan pasar, baju koko, minyak wangi, kapur barus, daster, hingga kutang. Tempat bertemunya aneka sikap: yang peduli kesehatan, yang phobia, yang berani-berani takut, hingga yang supercuek.

Yang jelas segalanya diuji di pasar. Sebuah produk dikontestasikan di sana untuk dipuji, dicaci, dipegang, dilepas, hingga akhirnya lulus menjadi komoditas yang laris terbeli atau teronggok berhari-hari. Begitu dimasuki, pasar akan menguji karakter setiap pribadi. Apakah akan kokoh menjadi pribadi yang jujur, berjiwa sosial, atau egoitis, bahkan menjadi sosok ramah tapi diam-diam mencuri berat timbangan.  

Pasar sungguh tidak peduli apakah engkau berdagang dengan menggunakan teori bisnis rasional akademis, bermodal integritas diri, berjurus bonek pasrah illahi, berbekal wirid kyai, atau mengantongi jimat penglaris dari Gunung Kawi.  Semua jurus akan bertempur di palagan pasar.

Maka pasar menjadi ajang persaingan sempurna, mempertemukan kurva penawaran dan kurva permintaan hingga tercapai titik keseimbangan harga bebas atau harga equilibrium. Pasar juga memperjumpakan ketamakan mengeruk laba dengan kepantasan, daya beli calon pembeli, dan siasat lihai sesama kompetitor bisnis.

Pada akhirnya segala kebijakan dan aturan akan ditimbang neraca pasar kehidupan, dikompromikan ke dalam mekanisme keadaan, dengan sejumlah kepentingan yang tidak selalu sejalan. Menjalani hidup dengan fleksibel terhadap irama pasar, boleh jadi akan membentuk herd immunity. Tetapi kalau dijalankan dengan kecerobohan bukan mustahil kita akan memasuki fase wabah gelombang kedua. Naudzubillah.

Untuk sementara saya cukup terhibur, tatkala menyaksikan beberapa pembeli yang keluar dari pasar Bluru sudah memperlihatkan kebiasaan baru. Mencuci tangan di kran darurat yang tersedia di halaman pasar. Tapi sayang, baru beberapa gelintir orang yang menjalankan.(*)





Previous
Next Post »