Apa kelanjutan dari profesi jurnalis? Menurutku: menjadi
penulis. Ya, para awak media yang telah lama menekuni dunia jurnalistik
seyogyanya “naik kelas” menjadi penulis. Pasalnya, mereka telah memiliki modal
ketrampilan dan pengalaman yang memadai. Sudah terbiasa menulis cepat, mampu memilah
fakta dan opini, hingga menghargai data dan akurasi.
Sebetulnya bukan hanya jurnalis, semua profesi saya
kira perlu didampingi dengan kemampuan menulis. Guru, dosen, dan profesor perlu
melahirkan buku agar ilmunya dapat tersebar kepada khalayak luas, tidak hanya terbatas
kepada peserta didik di kelasnya. Supaya menjadi amal jariyah abadi (dan angka
kredit). Bukankah “ilmu yang bermanfaat” adalah salah satu amalan yang tak akan
putus, kendati kita telah wafat?
Pengusaha, pejabat, olahragawan, hingga agamawan seyogyanya
juga menulis buku untuk berbagi pengalaman tentang kesuksesannya hingga dapat
dipelajari dan diteladani generasi muda. Petani jamur merang dan peternak cacing sukses juga perlu
menularkan kepakarannya agar membawa manfaat berlipat-lipat.
Sebagai public
figur, Anda mungkin bisa berkilah: ah, buat apa susah-susah menulis
sendiri? Toh kita bisa meng“hire”
penulis terkenal atau membayar jasa gost writer. Kita tinggal duduk diwawancarai, jadi deh.
Tentu saja akan jadi sebuah buku. Tetapi sejatinya hasilnya akan lebih bagus
andai dia mau menulis sendiri. Betapapun tulisan sendiri akan terasa lebih
orisinal dan personal. Dan biasanya itu jauh lebih mengena.
Kembali ke profesi jurnalis tadi. Beberapa wartawan
senior saya jauh-jauh hari sudah aktif
menulis buku. Sebut saja misalya Pak Djoko Pitono, Mas Henri Nurcahyo, Mas Yuleng, Mbak Sirikit,
Mas Suharyo, Yusuf Susilo, Mas Hasan Basri, Teguh Wahyu, Utomo, Hesti Palestina.
Jenisnya karya tulis mereka macam-macam, mulai dari buku ilmiah, kumpulan
artikel, esai, novel , puisi, cerita anak, juga geguritan.
Akhir-akhir ini juga mulai menyusul temans lainnya.
Ada mas Sugeng Purwanto yang menulis buku “Kisah
Dramatik Hijrah”, terus Mas Hartoko baru saja
melauching “Jejak Sunyi Sang Mualaf”. Arief Er Rahman yang pegang rubrik tetap
“Rehat” di Tribun Kaltim, dengar-dengar
juga sudah dibukukan. (aku belum dikirimi hehe).
Pak Sukemi Kemi, Son
Andries, Rumpoko Hadi, dan saya sering menjadi satu tim menulis buku-buku
pesanan dari berbagai institusi atau perorangan. Tapi temanku bertiga ini belum
sempat membikin buku karya sendiri. Saya lihat Pak Kem sedang menulis buku
tentang kehumasan, dapat 3 bab, dan berangan-angan bikin novel misteri relief
Borobudur.
Sedang pembaca kuat Cak Son tengah terobsesi bikin
novel ala John Grisham. Saya sendiri
saat ini tengah merampungkan buku baru dengan judul “Dalam Buaian Budaya Pongah”.
Mohon doa restu semoga segera terbit.
Sahabat Gatot Susanto sudah
melangkah konkret. Sebentar lagi novel terbarunya bakal muncul. Judulnya
Konspirasi Ibu. Ini bagian pertama dari trilogi. Sebuah novel politik yang
asyik (saya sudah baca drafnya). Onny Yuliana
sudah menyiapkan cover buku bergambar sampan berlatar laut biru jingga. Semoga daftar isinya segera
rampung, ya On.
Sungguh banyak temans yang bilang dan janji akan
menulis buku seperti ustad Nur Fakih, Cak Budi
Harminto, Oentari, Priyoko, Edi Sutanto,
dan Cak Nuruddin Ali. Sayangnya sampai kini masih dalam taraf “akan
menulis.” Boleh jadi mereka sangat sibuk
bekerja dan punya aktivitas menarik lainnya. Agaknya perlu terus menerus
dikompori agar keinginan mereka bisa segera terwujud ya.
Cak Siswo Madiun, cikgu
Titik Surya Pamukti Mojokerto, Pak Imung arek TV , Bambang Sudarto Lubuklinggau
,Bambang wiliarto Tabloid Bisnis Surabaya, Suyono Haes Jember, Yana Bonek Tvone
sekalian bu Ummu, juga Cak Bambang Bes Unair, Oentari , dan Ratna Devi Kediri, saya
berharap njenengan semua membuat buku karena keilmuannya sudah mumpuni.
Ayo Rek ndang
ditulis. Nunggu apa lagi? Kita perlu membuat buku guna mendokumentasikan
gagasan, untuk berbagi pengalaman dan pemikiran, setidaknya untuk melatih otak
agar tidak dihinggapi kepikunan.
Adrionomatabaru.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon