PELAJARAN paling elementer dari berpuasa adalah
mengenal rasa lapar. Sebuah rasa yang kian langka dialami (secara
sungguh-sungguh) oleh sebagian besar dari kita semua, saat ini.
Bukankah yang bermunculan setiap saat adalah status
teman kita tengah makan enak di restoran atau bersafari lidah di tempat-tempat kuliner
favorite? Tiada Magrib tanpa bukber. Jadi,
isu utama yang kita omongkan sehari-hari adalah soal kekenyangan, bukan tentang
kelaparan.
“Siapa bilang perut kami tak pernah keroncongan?”
engkau coba menyangga. Tentu saja sesekali kita mengalami perut kosong dan
sedikit perih. Tetapi itu semata karena kita keburu berangkat kerja sehingga tidak sempat sarapan, kejebak macet
di jalan, atau terkurung dalam forum yang tidak bubar-bubar.
Sama sekali bukan lantaran tidak memiliki uang atau
stok beras habis. Itu cuma lapar temporer namanya, karena tanpa disertai
kecemasan: makan apa dan harus cari di mana?, sebagaimana lazim dialami si fakir.
Boleh jadi ini pertanda kesejahteraan hidup yang
meningkat. Makan enak juga merupakan wujud dari rasa syukur atas nikmat. Tetapi
ada baiknya kita waspada, sebab biasanya ada korelasi cukup signifikan antara
tingkat kemapanan dengan sensitivitas dan empati seseorang. Tanpa pernah mengalami
perut kosong, agak sulit membayangkan perihnya hidup serba kekurangan. Berlebihan
dan bermewah-mewah di meja makan juga sebentuk ketidakpedulian sosial. Dan saya
kira itu tidak dianjurkan oleh Pancasila (katanya: Saya Indonesia, Saya Pancasila).
Ya, makna makan dan minum telah berkembang begitu
jauh. Bukan lagi sebatas mengobati lapar dan dahaga semata. Makan-makan telah
bergeser menjadi hobi, style life, ekonomi kreatif, hingga media kegiatan bisnis. Orang-orang
makan bukan karena lapar, tetapi karena sedang kepingin seru-seruan, sebagai
media berkomunikasi, hingga untuk keperluan ngeksis.
Karena kebutuhan pekerjaan, saya kerap terlibat dalam
safari makan berkali-kali dalam sehari. Pagi ikut meeting di kantor ini, barusan
kelar harus segera meluncur ke lobi hotel itu untuk ketemuan dengan orang penting. Sorenya geser lagi ke food court X untuk mematangkan kegiatan, kadang masih dilanjut dengan
cangkruk ngopi hingga larut. Dari sederet kegiatan itu, semuanya tentu ditemani
oleh sajian makanan dan kudapan serba berlabel asing --yang tidak akrab di lidah “ndeso” saya.
Ini memang bukan acara makan-makan. Isinya diskusi pekerjaan, menjajagi peluang
kerja, atau sharing-sharing informasi,
termasuk kasak-kusuk sedikit. Yang pasti makanan telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari aktivitas bisnis.
Waktu makan pun tidak lagi terpola normal pagi-siang-malam,
semua situasional mengikuti pergerakan
acara. Kalau sudah begitu, perut saya selalu terasa penuh sesak. Yang masuk
belum sempat tecerna sudah ditambahi lagi
makanan baru. Dalam keadaan seperti itu, relevankah bicara soal lapar?
Dulu Pak Mugianto (alm), guru pelajaran Marketing di SMEA Kosgoro Lawang, mengajari
kami tentang hukum Gossen (kami sering memelesetkan dengan hukum “bosen”). Sebuah
kaidah tentang kenikmatan yang tingkat kepuasannya berkurang.
Beliau menggambar di papan tulis lima gelas berisi air,
lalu menerangkan.
“Jika kalian haus dan meneguk air gelas yang
pertama maka isinya pasti sangat nikmat. Karena masih haus kalian minum lagi
air gelas yang kedua. Rasanya tetap segar tetapi tingkat kepuasannya sudah
tidak seperti gelas yang pertama. Demikian juga bila kita meminum gelas yang
ketiga dan ke empat dan seterusnya.”
Dengan kata lain, pemuasan terhadap kebutuhan
dan/atau keinginan yang terus-menerus terpenuhi justru akan menghasilkan
tingkat kepuasan yang makin lama semakin berkurang, sampai pada akhirnya mencapai kejenuhan. Orang jadi “bosen”.
Bukankah itu yang kerap kita alami? Makanan dari
restoran ternama menjadi terasa tidak
terlalu istimewa, lantaran kita dapat mendapatkannya setiap saat, di kala
keinginan muncul. Mungkin karena itu, orang
kaya lantas mencari sensasi baru dengan menjajal kuliner ekstrem.
Kita jadi lupa kepada kearifan lokal yang dulu
sering diucap orang-orang desa. Bapakku suka bilang, “makanan itu akan terasa
nikmat bila kita lapar.” Jadi prasyarat nikmatnya
makanan justru terletak pada rasa lapar. Demikian juga dengan kebahagiaan
hidup. Kebahagiaan akan begitu terasa setelah kita mengalami kesengsaraan. Sepotong
kesusahan dibutuhkan guna menikmati sepiring kesenangan.
Nah, dibutuhkan puasa sehari untuk merasakan
nikmatnya berbuka. Segelas air minum pertama dan sepotong kue takjil adalah paket
makanan terlezat. Selebihnya, makanan
berikutnya, main course dan dessert yang komplet, agak susah untuk mengalahkannya.
adrionomatabaru.blogspot.com
ilustrasi: makebizesay.com
Selamat puasa: Komunitas Bisa Menulis, Onny, Siswo,
Sartono, Utami Ekoningsih, Endeh, Andriyani, Trisiwi, Susan Indri.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon