BERGURU KEPADA KOMIKA

SAYA gemar nonton Stand Up Comedy Indonesia (SUCI), karena darinya saya mendapatkan dua hal: kegembiraan dan ilmu pengetahuan. Ya, gembira karena kita mendapat hiburan gratis dari para komika lucu, cerdas, dan kerap mengejutkan. Saya mengikuti acara lawakan tunggal di kompastv itu dari dulu sampai sekarang, meski tidak rutin-rutin amat.

Dari “kompetisi ha-ha-hi-hi” itu saya mendapat pengetahuan. Dari ulasan-ulasan juri, Raditya Dika, Pandji, dan Pakde Indro, saya jadi tahu bahwa ternyata urusan melucu di atas panggung itu ada teorinya, bukan asal bunyi. Bahwa bikin joke, membuat let’s make lauch, ternyata prosesnya sangat serius. Mereka harus mampu menuliskan sekaigus men-delivery dengan prima di hadapan penonton.

Karena sering nonton SUCI saya jadi menemukan gagasan baru, bahwa ternyata jurus-jurus stand up bisa dimanfaatkan dalam membuat karya tulis yang bagus. (Ya, bukanlah stand up sendiri awalnya juga karya tulis? Hanya saja wujud akhirnya disuguhkan dalam bentuk lisan.)

Juri mengatakan, stand up hendaknya dimulai dengan pengantar awal atau premis yang kuat sebagai set up, setelah itu baru dicari sisi lucunya (punch line), hingga menghasilkan ledakan tawa. Sebuah tawa bisa pecah lantaran komika mempermainkan logika, memelesetkan kata, menjungkirbalikan fakta, menghadirkan kontras lokalitas, menertawakan diri sendiri (self destruction), mengajak berkhayal, ber-absurd ria, hingga melakukan kritik terhadap keadaan.

Saya kira sebuah karya tulis, (artikel populer, esai, kolom, maupun cerita pendek) akan tampil keren manakala mengikuti rahasia ilmu kaum komika ini. Beberapa kali saya mempraktikkannya. Membuka tulisan dengan deskripsi yang cermat kemudian saya usik kebenaran dan relevansinya dengan realitas, saya tingkah dengan kritik, dan kadang saya bikin kelakar dengan memelesetkan kata-kata.

Ada beberapa prinsip dalam lawakan tunggal, antara lain: (1) jangan menceritakan lawakan basi, (2) jangan cerita bertele-tele karena harus mempertimbangan durasi dan lauch per minute (jumlah tawa per menit). Komika juga harus (3) memiliki angle atau sudut pandang terhadap sebuah subyek/masalah.

Bukanlah prinsip dasar karya tulis juga demikian? Bahan yang basi tidak bakal menarik minat baca. Aktualitas topik dan kemenarikan tema menjadi pertaruhan. Tulisan yang baik juga tidak perlu berpanjang lebar, apalagi pembaca era “layar sentuh” maunya tulisan ringkas-ringkas saja. Angle harus dibuat agar tulisan menjadi fokus, dan tidak ngelantur kemana-mana.

Dalam pergelaran SUCI, selalu ada sesi roasting. Para komika diminta meledek seorang publik figur yang dihadirkan untuk “dikerjain”. Tentu roasting bukan diniatkan untuk mencela atau menghina orang (meski beberapa komika kadang juga agak kelewatan dalam meroasting).

Kata Panji Pragiwaksono, “Roasting melatih komika untuk dapat membedakan antara jahat dengan nakal. Kita tidak boleh berbuat jahat.” Jadi, yang dapat dilakukan adalah menakali, sehingga menghasilkan tawa tanpa harus melukai obyek yang kita bicarakan.

Karya tulis yang baik saya kita juga begitu. Kita bisa mengeritik orang dengan jurus roasting. Sehingga yang terlontar bukan ujaran kebenciaan, ngebully, atau hujatan.  Mengkritik tetapi tetap dalam koridor etika dan suasana dingin, sehingga sosok yang kena kritis masih bisa tersenyum, meski senyuman kecut.

Dalam stand up, juga ada metode yang dinamakan callback. Ini sebuah jurus melucu dengan memanfaatkan joke yang sudah terlontar sebelumnya. Penonton tertawa karena dicall kembali memorinya tentang joke lucu yang sempat pecah sebelumnya.

Jurus callback juga cantik  dipakai untuk memungkasi sebuah karya tulis. Sekadar contoh, dalam tulisan ini saya bisa melakukan callback. Caranya, dengan “memainkan” kembali kalimat awal esai ini. Umpamanya dengan menulis alinea penutup seperti ini:

Saya suka nonton stand up comedy, karena darinya saya mendapatkan dua hal: pasokan bahan gurauan dan merawat kewarasan.

adrionomatabaru.blogspot.com
ilustrasi: kompastv.com


Previous
Next Post »