ILMU itu ada dua: ilmu sekolahan dan ilmu lapangan.
Lalu, ilmu lapangan juga ada dua: pengalaman dan pemahaman. Dan pemahaman pada akhirnya juga
bermuara kepada dua hal: kesadaran akan eksistensi diri dan perubahan perilaku.
Tetapi apapun jenis ilmu beserta cabang-cabangnya,
semua hanya bisa direguk oleh para pembelajar sejati. Pribadi-pribadi yang merasa
selalu haus belajar dan senantiasa merasa ilmunya masih amat minim, atau dalam
bahasa Mas Suhartoko, adalah “sang mualaf.” Mualaf yang dialiri sikap tawaddu’, rendah hati, merasa tidak memiliki apa-apa (kalaupun memiliki,
tentu jauh dari cukup), sehingga jauh dari sikap sombong dan berbangga diri.
Pembelajar sejati merasa kerasan berposisi sebagai
murid, karena senantiasa bergerak mencari,
ngangsu, mencermati, dan merenungi.
Dan itu ada dalam diri sahabatku, yang sama-sama mantan wartawan Surabaya Post, Mas Suhartoko. Buku
barunya, “Jejak Sunyi Sang Mualaf”
dengan jelas mencerminkan hal itu.
Baginya semua suasana, peristiwa, anugerah, cobaan
hidup adalah sarana untuk mengaji alam, sebagai medium untuk menangkap hikmah. Bahkan kecelakaan
motor dan rasa nyeri di pinggang coba dinikmati sebagaimana rasa senang, dengan
tetap berprasangka baik kepada skenario yang dibuat oleh Allah SWT.
Sebagai wartawan dan kini bekerja di PT Puspa Agro tentu
banyak pengalaman yang didapat. Yang menarik semua itu selalu dikaitkan dengan keberadaan
Sang Maha Pencipta. Lihatlah, bagaimana dia bisa merasa dekat dengan Allah
justru tidak dalam suasana berzikir atau tahajud melainkan saat berada dalam di
puncak Gunung Ijen.
Dia juga merasakan khusuknya doa dan kepasrahan total
kepada Ilahi di saat diombang-ambingkan perahu karet dalam rafting yang mencekam, atau saat merasakan kengerian menjadi “co-pilot”
pesawat tempur taktis OV-10 yang bermanuver molak-malik
dan menukik tajam untuk melakukan pengeboman, dalam sesi latihan militer di
pantai Lumajang.
“Allahu Akbar. Di sinilah dimensi ilahiyah saya
kembali terasah dan saya merasa Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Perkasa, memang
ada di samping saya.” (hlm 6).
Tentu banyak orang mengalami peristiwa dan
pengalaman religius seperti itu. Demikian juga pasti banyak orang yang memiliki
pengetahuan tinggi yang tersimpan di batok kepala masing-masing. Tetapi, inilah
kelebihan seorang penulis. Dia mampu membuat pengetahuan yang tersembunyi (tacit knowledge) dalam dirinya menjadi
terdiskripsikan dalam kata-kata yang jelas sehingga bisa dibaca orang lain.
Penulis mampu membuat harta karun tacit
knowledge menjadi pengetahuan yang eksplisit (explicit knowledge), yang bisa dinikmati dan diwarisi semua orang.
Beruntungnya lagi Mas Hartoko adalah wartawan
sekaligus sarjana Jurusan Bahasa dan Santra Indonesia Unesa. Maka urusan “teknis
pertukangan” dalam tulis-menulis tentu sudah mumpuni. Tulisannya mengalir
lancar, bernas, dan kadang menghanyutkan. Buku ini gurih serta bergizi. Selamat
atas terbit buku pertamanya, semoga segera disusul dengan lahirnya buku-buku
berikutnya. Good job. Suwun kiriman
bukunya.
adrionomatabaru.blogspot.com
Colek penggiat literasi: Moh Khoiri, Samsyul Sodiq,
Sutejo, Gatot Sutedjo, Lia, Ardiana, sukemi, gatot susanto, son andries.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon