SALAH satu hal yang menyedot perhatian orang
menjelang Lebaran adalah masalah jalan. Semua calon pemudik sudah membayangkan
jalan mana yang bakal dilalui nanti. Jalan-jalan alternatif juga coba dicari
dengan harapan dapat cepat dan lancar
sampai tujuan.
Kiranya jalan telah menjadi tumpuan utama semua
orang. Bukan hanya pengendara, tetapi juga pedagang kaki lima yang gemar
memakan bahu jalan sehingga lahirlah istilah pasar tumpah, termasuk para pengasong yang memanfaatkan kemacetan
jalan.
Begitu vital eksistensi jalan, hingga membuat kata
jalan pun mengalami perluasan makna yang cukup berarti. Dari akar kata jalan lantas
lahirlah istilah jalan hidup, salah jalan, jalan damai, hingga perjalanan.
Perjalanan melahirkan makna sebuah proses dari satu
titik berangkat menuju ke titik tujuan. Pada hakikatnya semua orang sedang
melakukan perjalanan sepanjang hidupnya.
Proses “menjadi” dan “terjadi” akan senantiasa mewarnai sebagai
romantika perjalanan. Perjalanan adalah proses menjalani takdir disertai upaya-upaya
melaksanakan ikhtiar. Perjalanan juga bisa
berarti “hijrah”, perpindahan dari kegelapan menuju cahaya benderang.
Tentu, tidak semua orang tertawa senang dalam
setiap perjalanan. Sebab jalanan bukanlah melulu
menghadirkan kegembiraan, tetapi juga kemacetan, kegerahan, bahkan
kesedihan. Kondisi jalan yang tidak selalu mulus adalah realitas yang musti
dijalani. Jalan menanjak, menikung, dan
menurun silih berganti hadir di depan mata. Betapapun keadaanya harus ditapaki,
sebab perjalanan memang tak boleh berhenti.
Jadi tak perlu kelewat mengeluh tatkala menghadapi
tanjakan dan jangan pula lengah begitu menemui mudahnya perjalanan pada saat
menurun. Sebab sejatinya, kesulitan dan
kemudahan dalam perjalanan hidup, kedua-duanya merupakan batu ujian, yang sama-sama
bisa membuat orang terpeleset di tengah jalan.
Di jalan sangat mungkin terjumpai onak duri yang
bisa mencelakai. Juga bakal tertemui banyak persimpangan yang memungkinkan kita
jadi bingung, bimbang, kehilangan arah tujuan, maupun sengaja berbelok arah karena
tiba-tiba merasa perlu berganti tujuan.
Maka dari itu satu hal terpenting dari sebuah perjalanan
adalah tujuan. Kemana perjalanan hidup ini berakhir? Kemanakah sesungguhnya tujuan
hakiki para pemudik yang tengah menempuh perjalanan panjang itu. Ya, tujuannya tiada
lain adalah berpulang kembali ke haribaanNya. Semua berangkat dari titik “innalillahi” dan perjalanan berakhir di
“ilaihi raji’un.”
Tujuan hidup semua orang memang tidak sama. Ada
yang memilih kesuksesan karier sebagai target utama. Ada yang bertekad merengkuh
puncak kekuasaan sebagai sasaran utama dan bekerja keras menghimpun kekayaa,
Namun ada pula yang justru memilih menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama,
serta keridaan Allah sebagai tujuan akhir yang paling akhir.
Mengingat banyak tujuan bagi semua pengguna jalan,
maka dibutuhkan rambu-rambu penunjuk arah dan tanda peringatan maupun
larangan di pinggiran jalan, agar mereka
mendapat arahan dan tidak tersesat. Teknologi telah memberi kemudahan dengan
menghadirkan GPS (Global Positioning
System). Tetapi bagi umat beragama,
rambu dan GPS di sepanjang kehidupan yang layak diikuti adalah kitab suci dan teladan
Nabi.
Meski kita merasa tujuan hidup kita telah lurus, meski
kita merasa telah mengikuti rambu-rambu dan menjalankan tertib lalu litas,
belum tentu kita menemukan kebenaran. Sebab godaan nafsu, membolak-baliknya kalbu, dan jebakan setan
tetap mengintai di setiap hamparan jalan.
Buktinya, masih ada saudara-saudara kita yang tanpa
sadar telah melakukan penyimpangan-penyimpangan karena salah nafsir, gagal
paham, salah pembimbing, maupun karena keyakinan sesat dan taqlid buta. Hingga kini, masih ada yang tergoda akan ajakan
menempuh jalan-jalan alternatif demi
menggapai surga secara cepat dan instan. Misalnya dengan melakukan teror bom
bunuh diri.
Oleh karena itu, betapapun sudah merasa yakin telah
menempuh jalan benar, kita tetap harus mau berendah hati untuk memohon
pertolongan kepada Sang Maha benar. Pada setiap rakaat shalat, tanpa bosan kita
selalu mengulang-ulang permintaan mendasar itu: “Tunjukkanlah kami kepada jalan
lebar yang lurus.” Ihdinas siratal mustaqim.
Prof. Quraish Shihab mengartikan “sirat” sebagai
jalan yang lebar. Sedang jalan yang kecil disebut “sabil.” Menurutnya, dalam
realitas, selain jalan besar, ada pula jalan kecil dan berkelok-kelok. “Boleh
jadi jalan kecil dan berkelok itu benar, tetapi karena berkelok maka akan lebih
panjang jarak tempuhnya dan lebih lama sampai tujuan,” katanya dalam acara tv Tafsir Al-Mishbah.
Lalu apakah jalan yang sesungguhnya kita dambakan itu? Tidak lain adalah ”jalan
orang-orang yang Engkau beri nikmat. Bukan jalan orang yang Engkau murkai dan
bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.” Siratal lazina an’amta ‘alaihim gayril
magdubi alayhim wa laddalliin.
Selamat melakukan pejalanan mudik, kawans. (*)
adrionomatabaru.blogspot.com
Foto: mediaindonesia.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon