MALAM MULIA


Saya tidak paham banyak tentang lailatul qadar. Tentu para ustad dan ulama yang lebih pawai menjabarkan maknanya. Bahkan boleh jadi “mbah Google” lebih mampu mendefinikannya ketimbang saya. Yang kutahu, itu adalah sebuah malam penuh kemuliaan dan keberkahan.

Orang-orang alim memburunya dengan sungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Saya juga menyaksikan orang berduyun-duyun ke masjid dan makam Sunan Ampel di Surabaya pada malam-malam hitungan ganjil. Di mana-mana warga muslim juga berihtikaf di masjid-masjid dengan khusuk. Begitu  bergairah mereka menggapai malam seribu bulan.

Menyaksikan itu semua, saya jadi merasa seperti bocah kecil yang tengah berebut layang-layang dengan orang-orang dewasa --yang besar-besar dengan membawa galah penjolok panjang. Oh, mungkinkah aku akan mendapatkan layang-layang?

Saya juga merasa seolah nasabah kecil yang berada di tengah para nasabah gajah yang sama-sama menunggu pengundian hadiah utama sebuah rumah mewah. Oh, mungkinkah aku mendapatkannya, sementara tabungan amalku baru seupil?

Maka saya nikmati saja malam-malam Ramadan, seperti malam ini, seraya hati menebak-nebak tanda-tanda alam, jangan-jangan saat ini adalah malam yang diburu itu. Dalam memoriku mengiang kembali isyarat yang didendangkan oleh Bimbo tentang Lailatul Qadar.

Margasatwa tak berbunyi
Gunung menahan nafasnya
Angin pun berhenti
Pohon-pohon tunduk
Dalam gelap malam.
Pada bulan suci
Qur’an turun ke bumi

Ya, seyogyanya kutemani saja malam yang demikian tenang ini dengan zikir sebisa-bisanya. Mencoba memperlama duduk, meski kaki tidak begitu betah bersila. Mencoba mengheningkan cipta semampunya, walau pikiran begitu gampang berlompatan ke mana-mana.

Ya, Allah, hamba tak pandai berdoa. Hafalan doa-doa hanya sedikit dan itu-itu juga. Tetapi bukankah Engkau menyukai kesederhanaan dalam bermunajad? Jadi, saya pun mengandalkan doa sapu jagad yang sering diucapkan Kanjeng Nabi: “Robbana aatinaa fiddun yaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah waqina ‘adzaa ban naar.” Lagi pula, apalagi yang layak diminta selain “keselamatan dunia dan akhirat serta dijauhkan dari siksa api neraka?”

Dalam keheningan malam, tanpa kucermati lagi ini malam ganjil atau malam genap, saya mencoba untuk tengadah. Sebagai muslim awam, yang masih bergumul dosa, diam-diam saya juga mendambakan  lailatul qadar, seperti mereka. Naifkah,  jika ada burung pungguk merindukan rembulan? (*)

adrionomatabaru.blogspot.com

Foto: kartikarahmawati.worpress.com
Previous
Next Post »