ADAPTASI DENGAN AGEN AI

 

“Pada akhirnya sang pemenang bukanlah yang terkuat, tetapi mereka yang mampu beradaptasi.” Begitu ucapan Charles Darwin, pencetus teori evolusi yang mashur itu. Menyadari hal tersebut, saya sebagai penulis jadul berusaha beradaptasi, betapapun kadang kepontalan dibuatnya. 

Era AI (artificial intelligence) semakin merasuk dalam kehidupan, termasuk dunia tulis menulis. Maka saya pun belajar cara menulis pakai Chat GPT, Gemini, ataupun agen AI lainnya. Sebagian didasari rasa kepo, sebagian juga demi adaptasi tadi. 

Berlatih memberi perintah (ngepromt) yang efektif, spesifik, dan “manusiawi.” Belajar menyapa bersahabat mengikuti metode FDP (friendly dialogical prompting ) supaya si mesin AI mau nulis sesuai kemauan kita sekaligus meniru gaya khas tulisan kita.  Saya aktif berdebat, eyel-eyelan dengan AI, agar memperoleh hasil yang mendalam dan cocok dengan karep saya. 

Dari kolaborasi dengan AI, syukurlah, terlahir buku “Mendidik Jari Agar Tidak Scrool-Scrool Sepanjang Hari.” Tapi terus terang setelah buku itu lahir, saya tidak marem. Karya tulis itu rasanya kayak bukan anak kandung sendiri. Mungkin saja karena ada campur tangan “sperma” lain yang turut membuahi ketika proses pembuatan berlangsung. 

Lalu berbekal pengalaman beradaptasi tersebut, saya diminta Prof. Syamsul Sodiq sharing dalam kuliah tamu Pascasarjana Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia  bersama Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra,  Unesa, di kampus Lidah, Selasa (9/12) siang. Sebagai praktisi, saya tampil melengkapi narsum keren, Prof. Suyatno. 

Tentu saja sebagian pesertanya ada yang jago main AI. Apa lagi sekarang di medsos banyak dijual “prompt instan” dengan promosi yang muluk: “100 prompt instan skripsi, pasti lolos deteksi plagiasi,” dll.

Tetapi menurut saya, semua yang instan tidak bakal berbuah optimal. Hanya dengan teknik dialog yang berulang dengan agen AI, hanya dengan prompt percakapan yang kontekstual, akan menghasilkan output yang lebih kuat, dibanding lewat sekali prompt instruktif yang panjang dan kaku. 

Begitulah, saya telah beradaptasi dengan agen AI, meskipun terus terang tetap saja diliputi gamang: apakah ini langkah progresif atau justru mulai coba-coba menyentuh zat adiktif? Apalagi banyak riset sudah membunyikan alarm bahaya AI. Di antaranya studi MIT yang menyebut otak melemah saat terlalu mengandalkan ChatGPT. 

Barangkali teknologi AI itu mirip dengan murid yang nakal. Jadi, sepanjang kita bisa mengarahkan, dia dapat bersinar.

 “Ufh, tidak segampang itu, Ferguso.” (adrionomatabaru@blogspot.com)







Previous
Next Post »