TAHU BATAS

AGAK terlambat saya mendapat jadwal Imsakiyah. Puasa hari ketiga baru pegang selebaran itu, saat saya mendatangi BRI Syariah. Biasanya saya sudah mendapatnya pada awal-awal puasa, ambil dari atas kotak amal masjid atau diberi tetangga. Bahkan ketika masih bekerja di koran, saya sudah menggunting jadwal imsakiyah bermuatan iklan sirup pada H-1. Mengunduh dari internet memang bisa, tapi saya enggan melakukan.

Tidak terlalu penting sih jadwal imsakiyah, tetapi entah saya selalu mencarinya setiap Ramadan tiba. Jadwal itu kutempel di dinding. Lalu biasanya anak perempuanku memberi tanda silang pada tanggal-tanggal yang berhasil dilalui dan melingkari tanggal dimana dia berhalangan puasa.

Saya suka mengamati deretan angka-angka petunjuk waktu yang tertera di situ. Di mata  saya, jadwal imsakiyah adalah petunjuk konkret tentang sebuah batas. Batas antara yang “boleh” dan yang “tidak boleh”. Imsak menjadi batas start dan Magrib menjadi garis finish berpuasa. Sungguh penting mengenal batas agar puasa kita tidak sampai batal.

Juga sungguh perlu mengenal batas, agar kita hidup selamat di dunia, kubur, dan akhirat. Apalagi kini batas-batas dalam kehidupan kian mengabur. Area abu-abu, yang merupakan percampuran hitam dan putih, semakin hari semakin lebar saja. Perbatasan antara haram dan halal, area-area subhat, jika tidak waspada, kita enjoy di dalamnya dan menjalani tanpa rasa berdosa.

Tentu saja semua paham bahwa mencuri, menipu, berzinah, dan sederet tindak kriminal lainnya adalah perbuatan hitam yang hina. Tapi memberi fee di bawah tangan, mark-up anggaran, ”nitip” anak agar diterima di sekolah negeri, beli bocoran soal, hingga chatting porno, adalah perbuatan di grey area, yang dimaklumi dan lambat laun dianggap sebagai kewajaran, bahkan menjadi kebenaran.

Mungkin karena itu, guru-guru ngaji kita mengajari doa agar senantiasa diberi petunjuk Allah, bahwa yang benar adalah benar dan yang batil adalah batil. Lantas memohon diberi kemampuan untuk menjalankan kebenaran dan kesanggupan menghindari kebatilan.

Imsakiyah mengenalkan batas waktu ibadah puasa. Dalam realitas, juga dikenal batas-batas agar kehidupan berjalan wajar. Agama mengajarkan batas dan aturan ibadah melalui fiqih. Negara memberi batas dengan konstitusi dan hukum positif. Sementara akademisi menilai batas benar salah berdasar kerangka logika ilmiah.

Gak Ilok
Sungguh tidak elok (Jawa: gak ilok) orang-orang yang melampau batas. Kekuasaan yang tidak terbatas hanya melahirkan kediktoran. Andai dulu Presiden Orde Baru tahu batas untuk turun tahta, boleh jadi dia akan dikenal sebagai pahlawan pembangunan yang amat berjasa.

Kini konstitusi membatasi masa jabatan penguasa cukup dua periode saja. Toh masih terjumpai orang ambisius yang coba menyiasati. Ada walikota sudah menjabat dua periode, tanpa risih tampil menjadi wakil walikota lagi. Beberapa kepala daerah yang habis “jatah” masa jabatannya, mengajukan istrinya untuk menyambung kekuasaan.

Puasa itu belajar menahan diri, mengobati penyakit berbahaya, yang dokter spesialis ahlipun tak mampu mengobati, yaitu penyakit “selalu merasa kurang dan rasa tidak pernah kenyang” alias serakah.

Tapi di mana batas keserakahan? Agaknya, ukurannya bukan pada seberapa gunung harta yang berhasil ditimbun. Tetapi terletak pada kepantasan. Hukum tidak bakal menindak keserakahan sepanjang tidak menabrak pasal. Ukuran kepantasan tidak lain adalah norma sosial dan perasaan. Orang kaya bebas membeli aneka barang mewah semaunya, tetapi norma mengimbau hendaknya mereka punya empati, tepa selira, empan papan, agar tidak sampai menggugah kecemburuan sosial.

Keretakan yang terjadi saat ini salah satunya juga dipicu oleh ketidaksensitifan terhadap batas-batas kepantasan itu. Perbedaan antara si kaya dan si miskin terekspos demikian mencolok lantaran gaya hidup yang ditampilkan.

Potensi benturan kian membesar manakala unsur suku, agama, ras, dan kelas ekonomi ikut bersilang sengkarut di dalamnya. Dikotomi kelas menjadi eksplisit. Di satu kutub ada “pribumi-muslim-miskin” di kutub lain ada “nonpribumi-nonmuslim-kaya.” Bila ketimpangan kesejahteraan tidak terjembatani, bila keadilan masih tebang pilih, bila pendidikan masih mahal, maka radikalisme akan menjadi api penyulut yang berdaya bakar tinggi.

Sudah selayaknya semua pihak mau berendah hati mengenali kembali batas-batas kepantasan. Belajar menahan diri. Belajar mengenal “imsak”.

adrionomatabaru.blogspot.com
ilustrasi: blackexpo.org

 Sugeng siyam Ramadhan: onny, titik, aunur, ardiana, jammaluddin, iksan, yupi ireng, andriyani, suharyo.


Previous
Next Post »