Aku merasakannya.Tuh lihat di tivi: iklan sirup Marjan muncul terus-terusan.
“Bukan hanya Marjan,” sela teman saya Muzamil
Asmara, “tapi juga gajah duduk pakai sarung.”
Ya
ya ya, isyarah bulan puasa telah datang, meski tim hilal belum mengintip
teropongnya.
Tadi
pagi sepulang dari pasar, isteri saya sudah bergumam, “harga-harga naik
semua.”
Tetanggaku, pengusaha musiman, sudah mulai memborong
bahan-bahan kue. Bersiap bikin nastengel hingga nastar untuk kemudian dijual ke sanak famili maupun lewat
online. Pengelola toko dan
supermarket menumpuk stok barang siap digelontorkan menyambut serbuan konsumen kalap
menjelang lebaran. Televisi berhias diri, pasti menayangkan sederet dagangan tayangan
islami. Selebritis kebanjiran job siaran
sahur hingga paket ngabuburit.
Begitulah, banyak tanda berkelebat di depan mata.
Tetapi mengapa penanda itu kian bersifat transaksional? Sakjane, Ramadhan itu bulan ruhani apa momen ekonomi sih? Tentu tiap pribadi boleh memaknai
Ramadhan sesuai persepsinya sendiri-sendiri. Dan masing-masing pribadi bakal
mendapatkan sesuai yang dilakoni. Tapi di era komoditifikasi dan omzet oriented ini, toh masih ada sosok-sosok
paradoks. Di kota besar masih terjumpai ada pengelola warteg yang memilih prei sebulan
penuh.
Hari-hari ini, saya jadi teringat suasana di desa ketika
bocah. Tanpa kesepakatan, bapak-bapak pada sibuk mengecat pagar dan rumah
dengan gamping putih. Kenapa kok dikapur?
“Biar rumahnya padhang. Biar puasanya
jadi senang,” jawab Bapakku. Pria dewasa menyempatkan diri membersihkan makam leluhur dan berziarah. “Dawuhe Kanjeng Nabi, sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kita
kepada kematian.”
Bapak juga biasa membeli segebok sapu ijuk beserta
keset, meski keuangannya terbatas. Hari pertama puasa saya diajak keliling gang
untuk membagi alat-alat kebersihan itu ke musalah-musalah kecil. Kami menaruh
di kala sepi, dan bapak mengajakku segera bergegas pergi, seperti enggan dilihat
orang.
Banyak isyarat Ramadhan di depan mata. Beruntung
saya menyaksikannya di pekarangan rumah kosong. Ternyata seekor ulat lebih
bijak memasuki gerbang puasa. Dia berserah diri segenap jiwa raga guna memasuki
masa kepompong. Si hama rela mengekang nafsu demi metamorfose. Berharap ridha bakal
menjelma menjadi kupu-kupu suci di hari yang fitri nanti. adrionomatabaru.blogspot.com
Ilustrasi: qolbunhadi.com
Colek: yupi ireng, budi pras, ratna, kiki, diena,
eny, arif mutasz
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon