KUCING-KUCINGAN

 
LAIN kota lain pula iklim kompetisinya. Di kota dingin Malang, persaingan transportasi online dengan konvensional justru terasa panas. Efek unjuk rasa ratusan angkutan kota tempo hari masih terasa. Angkutan berbasis aplikasi tetap beroperasi, tetapi di lapangan mereka harus “kucing-kucingan” untuk menghindari gesekan horisontal.

Jelang Ashar, dari kawasan Jl. Veteran saya memesan Uber. “Bapak, tunggu di tikungan masuk gerbang UB (Universitas Brawijaya) ya,” kata sopir Nissan Evalia menghubungiku. Maka saya harus bergeser agak jauh untuk memenuhi kemauannya. Dia kemudian mengangkutku memasuki area kampus lalu keluar gerbang utara, tembus ke Jl. Soekarno Hatta.

Di tengah perjalanan, sopir menyebut kawasan Matos tadi sebagai “zona merah”. Dia tidak berani ambil di sana karena banyak angkota mangkal berebut penumpang.

“Lho katanya yang ndak boleh cuma bandara sama terminal?” pancing saya dengan membandingkan situasi di Surabaya atau Jakarta.

“Di sini masih keras benturannya, Pak,” katanya. Dia mengaku masih agak trauma. Tempo hari dia sempat dilabrak sekelompok sopir angkota gara-gara ambil penumpang di depan SMAN 1 Tugu. Si sopir Nissan bikin janjian dengan calon penumpang yang barusan turun dari KA Kota Baru. Penumpang itu sudah mengalah berjalan cukup jauh dengan menggeret kopernya. Rupanya diam-diam para sopir konvensional membuntuti. Sempat terjadi cekcok mulut, yang berakhir dengan kehadiran polisi. Dan selembar surat tilang (?).

Kasihan, apa salah sopir online? Tampaknya negara belum hadir sebagai penengah. Regulasi Permenhub No. 32/2016 yang diberlakukan 1 April lalu terbukti belum mampu mengatasi friksi antarsopir yang sama-sama mencari sandang pangan di jalanan.  “Pergub revisi, masih nunggu tiga bulan lagi,” kata Pak Sopir.

Ketika tarif batas bawah belum diputus Gubernur, pihak pengelola aplikasi sudah berkreasi sendiri. Mereka menerapkan tarif fleksibel mengikuti kondisi kepadatan arus lalu lintas maupun ramainya order penumpang. Mirip-mirip model tarif pesawat terbang.

Dua jam sebelum naik taksi online, saya mengetik di keypad gawai dari Jl. Veteran menuju Terminal Arjosari, tertera  tarif  Rp 24 ribu.  Tapi pas saya mau pesan, Grab sudah melonjak menjadi Rp. 71.000. sedang Uber masih berada di angka Rp. 31.500.

Bargaining posision sopir aplikasi di Malang tampaknya masih lemah. Di jalanan kota tadi juga tidak kulihat  seliweran tukang ojek berjaket hijau maupun orange. “Go-jek tetap operasi Pak. Tapi mereka tidak pakai seragam,” katanya memberitahuku.

Indikasi berikutnya juga terlihat ketika saya turun. Disertai mohon maaf, dia menurunkan saya agak jauh dari terminal, di halaman parkir swalayan.  Oala... repote golek rezeki yo Sam.
Adrionomatabaru.blogspot.com.  
Ilustrasi: waycabs.net
Colek : Didik Tris.mas hartoko, esan, lilik.


Previous
Next Post »