FRIKSI TAKSI



TAKSI konvensional belum mati. Meski tengah babak belur karena serbuan taksi online dan  ojek online. Skore sementara: 1-0, untuk taksi berbasis aplikasi. Tapi bisnis transportasi bukanlah pertandingan sepakbola yang cuma terdiri dari dua babak. Ini kompetisi panjang tanpa babak. Ini soal rezeki plus soal periuk nasi.

“Bagaimana kondisi sekarang, Bang,” tanya saya kepada sopir taksi Blue Bird. Kami sedang menembus lengang jalanan Jakarta, di ambang subuh, menuju ke bandara Halim Perdanakusuma.

“Lumayan, mulai baik lagi,” jawab sopir yang bernama Ichsan Ismail itu.
Menurutku, jawaban kali ini termasuk beda bila dibanding jawaban beberapa sopir taksi konven yang sempat kutanyai akhir-akhir ini. Kebanyakan mereka mengeluh bercampur jengkel dengan kompetitor barunya itu.

Kata “baik” memang subyektif.  Tapi ucapan Pak Ichsan kedengarannya cukup meyakinkan. Kemudian dia pun menjelaskan, kondisi yang dikatakan membaik itu terjadi setelah taksinya memutuskan menjalani peran ganda: sebagai taksi biasa sekaligus taksi online.  Di bodi kendaraan berwarna biru itu terpampang tulisan My Blue Bird, sebagai penanda menerima panggilan online. Ditambah iming-iming diskon pula.

“Kami kerja sama dengan Gojek,” kata Ichsan menjelaskan ichwal aplikasi itu.  Jurus yang sama tampaknya juga dilakukan oleh taksi O-renz dan taksi Silver dengan menggandeng sistem aplikasi Grab Taxi untuk memperluas pangsa pasar.

Inilah salah satu manuver yang dilakukan taksi konven untuk bertahan dari pertempuran sengit. Agaknya mereka menyadari bahwa melawan teknologi adalah perbuatan sia-sia. Maka jurus yang dipilih justru merangkul kecanggihan online untuk posisioning baru.

Apalagi antara taksi konven dengan taksi online sesungguhnya bukanlah dua kompetitor yang secara diameteral berhadap-hadapan langsung. Ada aspek teknologi yang berada di salah satu sudut segi tiga sama sisi di antara mereka.

Siapa yang mampu menunggangi teknologi, dialah yang berpeluang jadi pemenang. Sebagai contoh, tukang ojek pangkalan agaknya tidak perlu mati-matian melawan ojek online, sebab sebenarnya mereka juga berhak mendaftarkan diri sebagai pengojek online. Kalau mau.

“Kami lebih untung. Bisa ambil penumpang di bandara, di  rumah sakit, hotel-hotel, atau di jalanan. Ngambil penumpang lewat online juga bisa. Jadi pasar kami lebih luas daripada mereka. Sekarang  mobil kami di pangkalan sering habis, Pak,” katanya mengudar optimisme.

Peran ganda taksi ini memang rada unik,  karena standar yang dipakai juga ganda. Bila pesan taksi konvensional lewat kantor resmi, atau dengan memanggil langsung di jalanan, maka Anda akan dikenai tarif sesuai angka di argometer. Tapi bila pesannya lewat aplikasi, maka tarif yang harus Anda bayar cukup yang tercantum dalam gawai. Meskipun angkanya berbeda dengan yang tertera pada argo mobil saat Anda turun.

“Tarif lewat pesanan online memang lebih murah. Tapi ya diterima saja. Lumayan untuk nambah penghasilan,” katanya. Namun dalam praktik, jika penumpang tidak paham, bisa-bisa mereka tetap dikenai harga argo.

‘Permen Gagap’

Rupanya ini sebuah langkah kompromis pengelola taksi resmi untuk menyiasati keadaan yang sulit, seraya berharap hadirnya kebijakan pemerintah yang mampu memberi win-win solution. Peraturan Menteri Perhubungan No. 32 tahun 2016 yang diberlakukan awal April lalu terbukti masih gagap mengatur kenyataan. Tidak bisa menyudahi  pro kontra dan keberatan dari kedua belah pihak.

Penetapan tarif batas bawah dan batas atas, yang menjadi kewenangan kepala daerah, belum memuaskan parapihak. Sementara konsumen sepertinya tidak diakomodasi hak-haknya. Jika selama ini konsumen sudah menikmati tarif taksi online murah, mengapa dipaksa membayar lebih mahal dengan digedoknya  peraturan tarif?

Ketentuan Pergub Jatim tentang pembatasan jumlah taksi online  yang beroperasi juga menuai protes dari Asosiasi Driver Online (ADO). Walhasil masih tersisa sederet kerumitan meski Permenhub sudah berlaku sebulan lebih. Belum lagi masalah ojek online yang sampai sekarang masih mengambang aturannya, mengingat kendaraan roda dua itu hingga kini belum diakui sebagai alat transportasi umum oleh UU transportasi.

“Teman-teman saya banyak yang balik jadi sopir taksi biasa lagi,” kata Sopir membuyarkan  kecamuk pikiran saya.
“Oh ya, kenapa?”
“Ya, mereka tidak kuat bayar cicilan mobil. Mereka nekad ambil mobil baru dengan uang muka 16 juta. Lalu tidak ngatasi angsurannya, iya kan Pak.”

Boleh jadi liputan tentang pendapatan tinggi sopir online yang ramai diekspos di televisi tempo hari sudah perlu diup date lagi.  Pasalnya, jumlah driver taksi aplikasi sudah membengkak tanpa kendali. Dampaknya,  mereka berebut penumpang dengan sesama teman sendiri.  

Sekarang mulai terjadi semacam involusi. Potensi jumlah calon penumpang relatif tetap, sementara penyedia jasa angkutan bertambah amat banyak. Terjadilah sebaran pendapatan yang luas, sehingga produktivitas dan pendapatan rerata masing-masing sopir menjadi tidak berlimpah lagi.

Sopir Ichsan menginjak rem, pertanda saya telah sampai tujuan. Untuk perjalanan dari Tebet Dalam menuju Halim sejauh tujuh km itu saya harus membayar Rp. 47 ribu.  Padahal andai pakai  Grab saya cukup merogoh kocek Rp 24 ribu. Bila naik Uber cukup Rp. 23 ribu. Bahkan bila mau melaju bersama Gojek cuma kena Rp 11 ribu. 

Tapi kemarin itu saya sengaja memilih Blue Bird yang sudah punya reputasi, sebab saya bukan orang Jakarta yang paham tlatah. Saya merasa lebih aman naik taksi resmi, karena harus meluncur seorang diri di pagi-pagi buta seperti itu.    adrionomatabaru.blogspot.com

Sumber foto: terselubung.in


Previous
Next Post »