PEREMPUAN-PEREMPUAN PEMETIK KOPI

  


Hari masih pagi, belum genap pukul enam. Udara 12OC masih menggigit kulit. Tetapi tidak ada waktu untuk jongkok hangatkan diri di depan pawon berapi. Perempuan-perempuan desa ini sudah harus siaga berangkat kerja. 

Sesaat kemudian dua mobil pikap terbuka langsung mengangkutnya. Sepeninggal mereka, embun masih erat menempel daun bawang prei yang tumbuh subur di kebun depan rumah warga. Tonggeret pun riuh menyajikan orkestra, menyemangati perjalanan mereka menuju kebun kopi. 

Agaknya jarum jam di Dusun Jampit, Desa Kalisat, Kec. Sempol, Kab. Bondowoso, Jatim ini berdetak seperti laiknya jam milik orang kota. Meski lokasinya  terpencil di ketinggian 1.500 meter dpl di lereng Gunung Ijen, langgam kehidupan warganya tidak berjalan lamban. Sebab sekitar 213 KK penghuni dusun itu bukanlah petani biasa. Mereka adalah karyawan PT Perkebunan Nusantara XII,  KPL 1 Afdeling Jampit. Sebagian besar dari mereka berstatus pegawai negara. Sisanya menjadi buruh lepas. 

Maka, meski kegiatan fisiknya persis petani, tetapi mereka memiliki jam kerja resmi. Punya job description yang jelas: memetik  kopi dan merawat tanaman. Perempuan-perempuan itu cekatan memetik buah kopi arabica lalu memasukkan ke timba plastik yang terikat di pinggangnya. 

“Satu kilo petikan buah kopi dihargai dua ribu rupiah,” kata seorang dari mereka kepada saya. Dia mengatakan, dalam sehari rata-rata mampu memetik 25 kg. Perolehan tersebut dicatat oleh petugas dan diperhitungkan secara akumulatif. Dua pekan sekali dia nanti ambil gaji di kantor. 

Tidak seperti pohon teh yang rendah, pohon kopi tingginya bervariasi. Itulah sebabnya sebagian dari mereka membawa tangga sebagai alat bantu bekerja. Buah “emas hitam” yang dipetik haruslah dipilih yang benar-benar matang. 

Mulyadi, seorang mandor, menjelaskan yang dimaksud matang adalah yang warnanya merah sempurna. Kalau merahnya sudah kelewat tua atau mengering itu sudah turun mutunya, meskipun harus tetap diunduh untuk nantinya disendirikan. 

Demi memperoleh kematangan maksimal, pemetikan kopi dilakukan secara bergiliran. “Dimulai dari kebun petak pertama (dengan luasan sekitar satu hektare), besok bergeser ke petak kedua, dan seterusnya. Seminggu lagi mereka balik ke petak pertama. Buahnya sudah masak kembali,” katanya. 

Pada saat panen, yang berlangsung tiga hingga empat bulan, dibutuhkan tenaga pemetik kopi hingga 600 orang. Dari hamparan perkebunan di afdeling (wilayah administratif) Jampit seluas 135 hektare lebih, diperoleh hasil sekitar 400 ton biji kopi. Total luas perkebunan kopi di Desa Kalisat mencapai 3.500 ha lebih. Kebun ini merupakan satu dari 34 kebun milik PTPN XII di Provinsi Jatim. 

Lalu apa yang dikerjakan karyawan jika tidak musim panen? Mereka bertugas merawat tanaman kopi. Itulah sebabnya mereka membawa alat berupa garpu penggaruk untuk menyingkirkan gulma dan menggemburkan tanah. 

Selepas pukul satu siang kerja “dinas” mereka selesai. Para pekerja boleh menggarap sambilannya masing-masing. Umumnya mereka membudidayakan kentang atau sayur kubis pada lahan di sela perkebunan. Untuk komoditas kentang mereka bermitra dengan pabrik snack. Untuk pekerjaan setengah hari, keringat mereka dihargai  Rp. 40 ribu. 

Yang menarik, meskipun bekerja di dalam kebun pinggiran hutan, toh pekerja wanita itu tetap bersolek. Memakai make-up.  Juga bergincu. Boleh jadi itu bagian dari SOP atau imbauan dari perusahaan. Tetapi apapun alasannya, wanita memang berhak tampil cantik di tempat kerja.

 Suka ‘Otoriter’

Selama bekerja para petani kopi diawasi oleh mandor. Sedang mandor harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada Sinder, atasannya. Begitulah semua sudah terpola dan ada aturannya. Kehidupan dijalani dengan mengikuti ketentuan yang digariskan manajemen perseroan, termasuk jatah fasilitas perumahan untuk mereka. Perumahan khas dengan tipe yang seragam. Setiap rumah sama-sama pasang parabola. 

“Kami sudah terbiasa hidup diatur seperti ini,” kata Prendi, Ketua RT Dusun Jampit. “Makanya kami senang saja dengan pemimpin yang otoriter,” katanya seraya tertawa. Menurutnya dengan pimpinan otoriter dan dengan otoritas yang jelas maka semua menjadi teratur dan damai. 

“Lihat, di sini tak orang nganggur, semua ikut PTP. Tidak ada anak muda yang nongkrong-nongkrong  seenaknya. Semua tertata rapi, tenang, dan aman-aman saja. Di sini kekurangannya cuma satu, kurang hiburan. Mosok hiburannya nontok tivi thok,” katanya. 

Tapi sebetulnya kondisi tidaklah selalu baik-baik saja. Sekali tempo Dusun Jampit juga dihampiri petaka. Wujudnya frost. Ini semacam embun beku atau salju yang turun malam hari ketika kemarau sedang pada puncak-puncaknya. Temperatur di Jampit bisa turun hingga nol derajat bahkan menyentuh minus dua. 

Frost, atau orang Jawa menyebutnya bun upas, sangat merusak tanaman. Begitu terpapar “embun berbisa” ini, tanaman langsung mati. “Orang sini mengatasinya dengan cepat-cepat mengiramkan air, supaya frostnya jatuh dari tanaman. Kalau terlambat menyiram air lalu terkena matahari, ya tanaman langsung gosong tak bisa ditolong,” kata Mulyadi. 

Senja menggoreskan semburat merah saga di langit Gunung Ijen. Di ujung Dusun Jampit terdapat wisata agro yang dilengkapi dengan gueshouse. Persis surup Magrib, kami memasuki bangunan kuno berusia hampir satu abad itu. Sepi dalam remang. 

Semoga suasananya menyenangkan, tidak digerogoti pikiran negatif akibat guyon horor dari rekan serombongan, selama perjalanan menuju kemari tadi. (bersambung)  

 (adrionomatabaru.blogspot.com)





 

 

Previous
Next Post »