Saya harus ke tukang cukur, karena rambut sudah
panjang dan bikin risih. Saya mau potong cepak, siapa tahu anganku yang sering
panjang melayang turut terpangkas. Saya akan minta brewok dan jenggot juga
dikerok habis, siapa tahu kecemasanku yang kerap overdosis ikut terkikis?
Sebenarnya saya sudah menunda niat ini beberapa kali. Nunggu
pandemi pergi. Bukankah kita disuruh physical
distancing? Tapi lantaran lusa saya
diminta menghadap seseorang, ya saya musti ngajeni.
Akan hadir dengan memantaskan diri.
Putar-putar di perumahan dan kampung sebelah,
ternyata dua tempat langganan saya “lockdown”
semua. Untung akhirnya nemu di blok sebelah timur. Perlu menunggu tiga kepala
yang harus digarap dulu, baru saya dapat terlayani.
Begitu kain sudah dikemulkan ke badan, saya bilang, “Pendek, Mas. Satu senti.”
“Gundul ta, pak?” tanyanya.
Saya mengangguk berharap dia segera bekerja tanpa
banyak cakap, karena kulihat dia tidak bermasker.
“Sak senti mubeng rata, ta?” dia memperjelas lagi.
“He-em,” saya mengiyakan.
Tukang potong yang masih muda itu langsung beraksi.
Gerakannya cekatan dan efisien pertanda
dia expert di bidangnya. Tapi satu
hal yang di luar ekspektasi, dia suka bicara. Mungkin itu sudah SOP-nya: ingin
membikin kliennya senang. Dia pun cerita tentang sensasi yang dirasa ketika umpan
di mata kail digondol ikan saat memancing.
“Ngomong
ngalor ngidul yo Pak, ben gak setres,” katanya sembari tertawa. Ya, boleh
jadi dia benar. Diam-diam saya pun terpancing untuk mengimbanginya.
“Bagaimana Mas, zaman korona gini, ramai apa sepi?”
tanyaku memindah topik.
“Alhamdulillah,
Pak.”
“Maksudnya alhamdulillah?”
saya coba konfirmasi.
“Ya, alhamdulillah
sepi, sore sudah tutup,” katanya lantas tertawa.
"Kemarin tambah sangar, Pak. Gak ada yang cukur sama sekali," tambahnya setengah ngakak.
"Kemarin tambah sangar, Pak. Gak ada yang cukur sama sekali," tambahnya setengah ngakak.
Ini jawaban stereotipe kaum marjinal. Semua kondisi
tetap “dialhamdulillahi”. Suka dan susah ditanggapi dengan enteng saja. Boleh jadi ini sikap
fatalis karena terbiasa menjalani hidup dalam himpitan ekonomi. Tetapi
jangan-jangan ini sebuah kesadaran jiwa tingkat tinggi, bahkan mungkin masuk ranah
tasawuf dan falsafati. Kemampuan menertawakan
kesengsaraan seperti inilah kiranya yang membuat banyak kaum kecil selalu tegar
bertahan. Kebal dari frustrasi dan tak begitu terhantui dengan wabah saat ini.
Di mata saya, tukang cukur tergolong profesi istimewa.
Dia punya privilege tinggi. Tak
peduli kepala napi atau kyai, kepala balita atau tentara, semua dipegang-pegang
dengan tangan kirinya. Bahkan kepala sang presiden pun tak luput dari campur
tangannya. Toh semua itu tidak membuatnya
jadi besar kepala. Baginya semua batok kepala sama saja. Cuma kuantitas. Per
bijinya dua belas ribu rupiah.
“Bagaimana lagi ya Pak. Ya ini yang namanya jaman
sorona, soro kabeh wis,” katanya membuyarkan laju pikiran saya. Lewat cermin
kulirik wajahnya, masih menampakkan senyum. “Sorona” itu plesetan dari bahasa Jawa “soro” artinya sengsara. Sebuah
pemakluman yang dibungkus dengan humor getir.
Sense of
humor itu juga kiranya yang dapat meningkatkan imunitas tubuh dari gempuran
masalah. Tanpa daya mental bawaan ini, mungkin sudah banyak orang masuk di RSJ Menur
atau Porong atau berkeliaran tertawa-tawa sendiri di jalanan.
Kuulurkan uang sesuai dengan angka yang tertera di pojok
atas cermin. Dia menerimanya dengan suka cita. Kutengok “slebor” baruku di
kaca, hem .. lumayan cakep. Alhamdulillah
rambutku sudah pendek. Dan syukurlah, sebagian angan dan kecemasanku juga turut
terpangkas.
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Kartun: steemit.com
Sign up here with your email
2 comments
Write commentsp
ReplyAlhamdulillah... segala alhamdulillah harus selalu dialhamdulillahi... Alhamdulillaaaaahhhh...
ReplyEmoticonEmoticon