Apakah ada bedanya keheningan dengan keriuhan? Di
bulan Ramadan keduanya hanyalah “kahanan”,
cuma keadaan. Jangan-jangan hening dan riuh bukanlah lawan kata, bila keduanya
ternyata sama-sama menghadirkan kegembiraan.
Puasa sejatinya merupakan ibadah yang paling hening.
Sangat private. Di mana hebohnya, wong pelakunya “hanya” diminta menahan
diri dari makan minum dan sahwat. Diminta mingkem
sak kabehane. Kalau bisa tak hanya tutup mulut dari makanan tapi juga dari
segala ucapan buruk, dari perilaku yang merusak nilai puasa.
Tetapi “partai tambahan” dalam ritual puasa itu
yang membuat semua menjadi meriah. Ramai-ramai buka bersama (bukber) di rumah makan.
Juga tarawih massal dilanjut tadarus rutin,
yang semua itu diaplifikasi oleh teknologi TOA hingga tengah malam. Atas nama “si’ar”, katanya. Dan satu lagi yang
sangat spektakuler, dan terjadi satu-satunya di dunia, yaitu peristiwa mudik di
saat lebaran.
Kini pandemi COVID-19 telah mengubah segalanya. Tiba-tiba
semua dipaksa surut kembali. Masuk rumah masing-masing. Beribadah dengan
keluarga inti saja di rumah. Tentu saja tidak enak. Mengubah kebiasaan semestinya
tidak bisa semendadak ini.
Kenyataannya secara bertahap kemeriahan itu
menyurut. Berganti dengan ibadah individual yang relatif senyap. Keramaian yang
cenderung artifisial asesoris bergeser menjadi keheningan substantif. Kesendirian
memudahkan orang untuk melakukan refleksi diri, merenungi segala sepak terjangnya
selama ini.
Memang tanpa pergi berbondong-bondong berjamaah serasa
ada yang hilang. Dengan beribadah di rumah saja otomatif kita jadi kehilangan
aspek keseruannya, show of force, dan
sisi exhibitionnya. Menjadi tidak banyak
lagi picture yang layak diunggah ke
medsos.
Padahal diam-diam keheningan juga menyodorkan
kegembiraan yang sama, meski dalam nuansa berbeda. Keadaan stay at home justru memaksa orang menghayati kembali urgensi
keluarga inti. Interaksi intens membuat setiap anggota keluarga menyadari peran
dan keberadaannya. Keluarga adalah bahtera penting untuk mengarungi kehidupan
nyata, sebuah harta yang tak ternilai harganya.
Beribadah bersama di rumah menyadarkan kembali
kepada kebenaran lama bahwa pendidikan (terutama akhlak) anak-anak adalah
tanggung jawab keluarga sepenuhnya. Kita tidak bisa bersembunyi di balik jargon
“serahkan semua kepada ahlinya”, lantas menyerahkan begitu saja pengasuhan dan
pembentukan karakter anak-anak kepada baby
sitter, pakar parenting, ustad, dan guru. Lewat keteladanan kecil-kecil dan
konkret dari orangtua di bulan suci ini justru akan membekas di hati sang buah
hati.
Kemarin, seorang teman selama masa PSBB dengan santai
mengatakan kepada saya: ”Aku sekarang
naik pangkat, Pak. Jadi imam besar di rumah.” Sebagai kepala keluarga dirinya merasa
harus tampil sebagai iman salat tarawih, meski dengan bekal hafalan surat-surat
pendek yang tidak seberapa banyak. “Pokoknya
setiap rakaat kedua saya selalu pakai kulhu,
biar tidak lupa rakaat, hahaha.....” katanya merasa lucu. Toh dari derai
tawanya terdengar nada bahagia menyertainya.
Tarawih di rumah lebih feksibel pelaksanaannya, jam
dimulainya bergantung kesepakatan, jumlah rakaat mungkin juga hasil kompromi
bersama. Tadarus di rumah tidak bisa setertib di masjid atau musala. Tetapi
justru itulah khasnya kehidupan keluarga yang cair, hangat, dan mempribadi.
Saya jadi teringat ucapan khatib shalat Jumat yang
mengatakan, bila sebuah bangunan digunakan untuk bersujud dan membaca Al-Qur’an
maka akan memancarkan cahaya ke langit dan tembus hingga arsy’. Masjid dan mushalah tentulah menghasilkan pancaran sinar yang
lebih besar.
Kini di saat pandemi, saya membayangkan dari arsy’ mungkin akan terlihat berjuta-juta
cahaya itu bermunculan lebih merata dari rumah-rumah penduduk bumi, meski mungkin
cahayanya tidak terlalu pijar. Semoga saja di antara satu cahaya kecil yang
memancar itu berasal dari rumah kita. (*)
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Ilustrasi: pijarnews.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon