Kebaikan ternyata ada di mana-mana. Realitas ini seolah
antitesa dari pesan host tayangan acara
kriminalitas di teve yang sering mengingatkan pemirsa dengan berucap,
“kejahatan ada di mana-mana, waspadalah.”
Pageblug Korona di samping menyengsarakan, terbukti
juga menyulut kepedulian sosial yang massif. Mulai dari level atas hingga level
bawah. Boleh jadi ini bukti bahwa
manusia pada dasarnya menyukai kebaikan. Banyak pihak yang memberi makan cuma-cuma,
membagi masker, hingga mengantar voucher
belanja gratis ke rumah-rumah.
Di medsos kita menyaksikan video kakek kaya turun
dari sedan, lalu bagi-bagi beras kepada tukang becak dan orang kampung. Ada juga
pengedara memberikan lembar seratus ribuan kepada pengendara ojol yang antre
berbaris tertib menunggu bagian.
Tak perlu berprasangka bahwa mereka itu bersikap riya’,
cari sensasi, atau kepingin viral. Positif
thinking sajalah, bahwa mereka
tengah memberi teladan yang baik kepada kita semua. Jikalau disebut-sebut bahwa keburukan cepat menular,
maka saya percaya kebaikan juga dapat cepat menjalar.
Anak SMK ngebut
menjahit baju APD untuk mendukung tenaga medik yang berperang di garis
depan. ASN dan mahasiswa ramai-ramai membuat pelindung wajah dari plastik mika. Ibu dasa
wisma bersemangat membuat hand sanitizer mandiri dari lidah buaya.
Saya sungguh salut dan memberi apresiasi kepada
temans saya yang juga telah berkiprah nyata. Cak Iksan Sudiono dan warga RW 6
Mondoroko bergotong royong bikin cairan pencuci tangan gratis untuk warganya.
Juga Pak Agus lewat SebayaTalent-based School memproduksi hand sanitizer daun
sirih untuk pekerjan jalanan.
Ada Cak Bambang Sugianto, pengelola kafe Oksigen di
kawasan Dau Malang, yang sibuk membikin minuman herbal lalu dikasihkan ke masyarakat
tanpa imbalan. Juga Cak Budi Lancor bersama kerabatnya yang hingga malam ujung pisaunya
masih terayun-ayun, merajang kunir, jahe, dan empon-empon untuk dibuat jamu
sehat. Esoknya minuman segar dalam kemasan pun siap diminum oleh siapa saja.
Akan tetapi dalam panggung teater kehidupan tidak
mungkin semua orang mengambil peran protagonis. Pasti ada kontras alamiah. Dalam
kegentingan situasi, di lapangan selalu bercokol orang yang mengambil peran antagonis, menjadi
sosok yang “mengail di air keruh”. Orang jenis ini lihai memanfaatkan keadaan
untuk kepentingan sendiri atau kelompoknya.
Dia sosok cerdik menemukan panggung untuk
pencitraan diri. Boleh jadi dia memang tergolong dalam pribadi
machiavellianism. Di mana salah satu pendirian yang digenggam erat adalah
“apabila ada rumah terbakar, itulah saat yang tepat untuk mencuri.”
Ya, di hadapan kesulitan, orang cenderung bertindak
sesuai watak aslinya. Di tengah kecamuk
perang melawan pandemi di palagan Kurusetra
Korona, setiap pribadi bebas memilih peran sebagai Sengkuni ataukah Bisma, memilih ambil bagian sebagai pendawa atau
kurawa.
Meski demikian, jika tujuan hidup adalah mencari kebahagiaan,
coba saksikan, siapa yang lebih bahagia hidupnya: orang yang meraup keuntungan pribadi di
tengah amukan wabah ataukah orang yang membagikan
harta dan mengulurkan tangan untuk menolong
sesama?
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon