Ini cuma catatan kecil, bahkan mungkin teramat
kecil. Bukan wacana besar tentang khilafah atau isu ekstremitas perilaku orang beragama.
Ini “hanya” catatan tentang kesadaran yang datang terlambat. Tentang
bapak-bapak usia kepala lima ke atas yang tergerak untuk mengaji, supaya bisa membaca
kitab suci Al-Quran.
Tapi betulkah ini peristiwa kecil? Apakah greget untuk
menjalani kebaikan di usia senja adalah perkara kecil dibanding “tangis penyesalan”
terdakwa kasus megaproyek E-KTP? Apa itu besar, apa itu kecil, sungguh relatif.
Dua kali dalam sepekan mereka berkumpul. Duduk
menghadap dampar di masjid mungil
perumahan. Diwulang Pak Hadi, ustad
yang kompeten dan penyabar. Ya, harus supersabar mengajar lidah tua yang sudah telanjur
kaku dan mengajari memori yang mulai menua. Lidah yang selalu saja kesulitan
melafalkan huruf sesuai mahrajnya. “Kalau
mengucapkan kho itu harus ngorok. Kalau
kha harus bersih,” ujar sang guru ngaji, untuk yang kesekian kalinya.
Meski berulang diberi tahu, masih saja ada yang
kebalik-balik, membaca “ta” keliru “ya”, kasrah dibaca dhommah. Harakat fathah panjang dibaca pendek, fathah biasa malah dipanjangin lantaran belum hafal variasi
penulisan huruf hijaiyah. Kalau sudah begitu meledaklah tawa, tawa bernada
getir, menertawakan ketidakmampuan diri. Mengeja halaman demi halaman buku At-Tartil
Jilid 2 adalah perjuangan tersendiri.
Mereka bukan public
figur yang dekat dengan publikasi, melainkan orang biasa dari berbagai
profesi. Ada PNS, ada pensiunan, pedagang, orang proyekan, pemilik bengkel motor,
satpam, hingga juragan bandeng presto. Dalam kesibukan mencari rezeki toh
mereka mau menyempatkan diri untuk tholabul
ilmi.
Bila tidak bisa masuk ngaji lantaran harus dinas
luar atau jaga malam, mereka pamit melalui grup WA. Pamit bukan sekadar
formalitas dan unggah-ungguh ketimuran, tetapi ada muatan penyesalan di dalam
larik-larik teksnya yang sederhana. “Ngapunten
mboten saged ngaos, mlebet sift malam.” Mereka terlihat eman bila harus
prei. Mereka seolah ingin menebus kelalaian di masa muda.
Selesai mengaji, tidak ada yang bergegas kepingin
pulang. Selalu ada sederet tanya yang harus dimintakan jawaban. Bukan sekadar
tanya tentang aksara Arab dan tajuwid, tetapi sudah melebar kepada perihal upaya
menyempurnakan ibadah hingga aneka problema keseharian. Ustad meladeni semua
pertanyaan tanpa batasan tema. Tetapi kebanyakan yang ditanyakan bermuara
kepada bagaimana seharusnya mengisi
hari-hari supaya menjadi lebih baik dan berharap dapat khusnul khatimah.
“Saya harap Sampeyan
ngaji terus. Biarpun sulit jangan mutung.
Sampeyan ini sudah diberi anugerah, diparingi hidayat. Tidak semua orang lo dibuka
hatinya seperti ini. Wong wis tuwa kok nduwe
karep ngaji. Ngaji ini ilmunya Allah, kalau Allah berkehendak semua pasti digampangkan,”
kata Ustad memotivasi.
Dalam gelap malam selepas Isya, suara-suara tua itu
menggema memenuhi mushola. Rangkaian huruf hijaiyah tereja terbata-bata.
Sebagian ada yang mulai lancar membaca dan mampu mengeluarkan intonasi indah bernada tinggi rendah.
Sungguh suara orang belajar mengaji dapat menyentuh
hati. Hati para santri kasep yang
dadanya gemuruh ingin segera bisa mencicipi nikmatnya membaca kalam-kalam Ilahi.
Saya bahagia larut bersama ghirah mereka,
dalam semangat orang-orang yang
terbuka hatinya untuk mencari ilmu berkah, mengejar ketertinggalan. Semampunya.
Apakah kegiatan demikian ini dianggap kecil dan tidak
layak diapresiasi? Bagi saya, aktivitas sekecil apapun, sepanjang dapat mengantar
seseorang meningkat derajatnya sebagai manusia, maka itu adalah momen besar. (*)
Sapa tetangga: Pak Mur, Pak Farid, Pak. Sutomo,
gatot.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon