MENYERUPUT SECAWAN CINTA KANG MO


Hidup butuh keseimbangan. Ada saat menghirup ada pula saat menghembus. Bila hari-hari penuh diliputi polusi ujaran kebencian, tulisan hoax, dan pekatnya rasa intoleransi, kiranya layak diimbangi dengan menghirup buku-bacaan jernih yang mendamaikan hati.

Bila hari-hari telah dipenuhi dengan kesibukan mencari materi, mengejar ambisi duniawi, ada baiknya kita mengambil jeda, lalu memikirkan dimensi yang sebaliknya. Tidak melulu memburu harta, tapi sesekali merenungkan makna. Tidak hanya ribut urusan profan artifisial, tapi juga menengok yang substantif esensial. Mengesampingkan problem yang bikin pening, lalu berdiam sejenak demi menekuri hikmah dalam hening.

Dalam konteks seperti ini, saya gembira karena berkesempatan menyeruput pelan-pelan  “Secawan Cinta” buah karya Muhammad Zuhri atau akrab dipanggil Kang Mo. Pesan-pesan kearifan dari Lereng Gunung Muria ini terasa pas dan kontektual bagi kondisi saat ini.

Karya sufistik ini berisi kumpulan tulisan-tulisan pendek (tapi bernas) tentang hikmah yang terserak maupun tersembunyi di sekitar kita. Kang Mo antara lain mengajak kita untuk memikirkan kembali peran dan fungsi kita dihadirkan ke bumi ini. Diajak menemukan diri sebagai hamba dalam shalat hingga menghidupkan pengalaman beragama.

Mengenai “peran” dan “fungsi” ini saya memiliki pengalaman menarik dengan beliau. Suatu pagi, saat ahmarhum masih sugeng,  saya berkesempatan anjang sana ke kediaman beliau  di Desa Sekarjalak, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah.

Saya merasa, kunjungan saya tidak urgen, hanya ingin silaturahmi dan mau bertanya jawab mengenai beberapa hal. Oleh karena itu saya menyarankan agar Kang Mo tetap mengerjakan pekerjaan sehari-harinya, mungkin disambi menjenguk sawah, memberi makan ternak, atau menggosok baru akik, lalu saya akan mengikuti sambil berbincang-bincang  di sela aktivitasnya.

Tapi jawaban Kang Mo sungguh mengejutkan saya. “Hari ini, detik ini, Anda didatangkan ke sini oleh Allah. Maka tugas saya adalah melayani Anda sebaik-baiknya,” ujar beliau dengan senyum ramah dan tangan terbuka. Subhanallah, saya amat tersanjung. Siapalah diri saya ini hingga mendapat perlakuan sebaik itu?

Semula saya menganggap itu hanyalah kesantunan budaya timur, adab seorang tuan rumah yang selayaknya menghormati tamunya. Jadi saya tidak perlu terlalu gede rasa.  Tetapi kelak saya jadi paham bahwa itu adalah sikap hidup Kang Mo. Segala hal yang terjadi, dipandangnya sebagai sebuah penyelenggaraan Allah. Tidak ada kata kebetulan, semua tidak lepas dari qada dan qadarNya.

Waktu itu saban hari kesibukan Kang Mo kelihatannya “hanyalah” melayani tamu-tamu yang tak diundang (termasuk saya). Mereka berdatangan dari berbagai pelosok desa dan kota dengan membawa setumpuk masalah yang tak terselesaikan. Kebanyakan tamunya adalah pencari yang tidak pernah menemukan.

“Sebenarnya mereka bukanlah tamu-tamu yang tidak diundang. Mereka adalah orang-orang yang didatangkan Tuhan untuk dipertemukan dengan saya di suatu tempat pada suatu saat. Dan kebetulan tempat itu adalah rumah saya. Rumah yang terlalu sempit untuk menampung sekian banyak masalah yang pelik-pelik,” tulis Kang Mo (hlm 32).

Beruntunglah saya, beberapa waktu lalu sempat membaca status fesbuk Pak Nadjib Kertapati, yang tidak lain adalah adik kandung Kang Mo. Di situ terpampang buku baru Mohammad Zuhri yang diterbitkan Yayasan Barzah. Maka sayapun berkesempatan lagi mengunyah butiran-butiran hikmah dari Desa Sekarjalak. Rasanya nikmat, mencerahkan, mengusik, mendalam, kadang menggelikan. Meskipun tidak semua tulisan kelas tasawuf ini bisa dimengerti oleh intelegensi saya yang tidak begitu tinggi. (*)

adrionomatabaru.blogspot.com



Previous
Next Post »