Beberapa minggu ini seusai salat Jumat, saat keluar dari gerbang Masjid
Perumahan, saya mendapat tas kresek berisi nasi bungkus plus air gelasan.
Padahal saya keluar rada akhir, entah kriteria apa yang dipakai takmir dalam membagi
nasi gratis (mungkin saya terlihat melas? hehe...).
Saya selalu menerimanya dengan rasa haru setengah takjub. Betapa masih
banyak orang baik di sekitar kita. Di tengah merajalelanya pejabat nyolong uang
rakyat, maraknya tipu-tipu berkedok ibadah umrah, ternyata masih ada pribadi-pribadi
mulia yang bersedia berbagi, padahal dia bukan kandidat calon kepala daerah.
Meski tidak terlalu membutuhkan, karena di rumah sudah tersedia makanan,
saya berupaya melahapnya hingga habis, demi menghargai niat baik dermawan yang
berberi nasi. Sambil makan saya membatin, semoga dia mendapat balasan setimpal
dari Allah. Diam-diam terbit rasa ngiri, kapan saya bisa menirunya?
Di beberapa masjid di Surabaya saya juga menemui hal serupa. Dulu pemandangan
seperti itu hanya ditemui menjelang Mahgrib di bulan puasa. Kita di luar
Ramadhan pun kebaikan itu tetap terjadi. Bahkan di Masjid Namira Lamongan, katanya,
semua jamaah sholat Subuh mendapat sarapan cuma-cuma.
Tempo hari kusaksikan tumpukan nasi bungkus dibagi-bagikan seusai Jumat
di kawasan Semolo Waru. Kulihat para sales, pedagang alat rumah tangga, mahasiswa,
dan pengojek online menikmati santap siang di teras masjid dengan wajah gembira. Sungguh berarti
sebungkus nasi bagi mereka. Ini berarti mereka dapat menghemat biaya
operasional, dapat memperpanjang nafas bagi mahasiswa yang sedang indekos.
Kebaikan selalu bermunculan di sela kehidupan yang egois dan dunia bisnis
yang kompetitif. Semua itu memberi kelegaan
di hati, bahwa realitas tidaklah sebrengsek yang digambarkan berita-berita di media
massa maupun di medsos. (*)
adrionomatabaru.blogspot.com
ilustrasi: aktual.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon