Mana lebih enak, menjadi spesialis atau generalis?
Ini perdebatan klasik. Mana yang lebih untung, menekuni pendidikan vokasi atau
menjalani jalur akademisi? Pada akhirnya terpulang kepada pribadi masing-masing.
Tetapi seharian kemarin, saya menyaksikan para
mahasiswa Politeknik ATK Yogyakarta dengan penuh percaya diri menempuh jalur
spesialis. Mereka bersemangat praktik
mengolah kulit supaya memiliki keahlian di bidang teknologi kulit. Mulai dari mengolah
bahan baku kulit, menyamak, hingga menjadi lembaran kulit siap dibuat produk.
Setelah itu ada juga program studi yang fokus mengasah keterampilan membuat
produk-produk berbasis kulit: sepatu, tas, dompet, sabuk, jaket kulit, hingga
sarung tangan.
Dengan kekhususan itu, mereka jadi memiliki skill yang khas, yang tidak dipunyai kebanyakan
teman-teman sebayanya. Maka mereka dapat segera mengisi lapangan pekerjaan
dengan relatif lebih muda. Jadi wajar jika kampus yang beralamat di Jl.
Ringroad Selatan, Glugo, Panggungharjo Sewon, Bantul, ini daya serap lulusannya cukup tinggi.
Saat wisudah sudah sekitar 70% – 80% alumninya
tertampung di perusahaan kulit dan garmen atau melanjutkan studi. Sisanya,
dalam tempo kurang dari 6 bulan, sudah tidak ada lagi yang menganggur.
Jadi vokasi atau nonvokasi memang soal pilihan.
Tetapi realitas hidup menunjukkan, sebagian besar lulusan kuliah akan menjadi
pekerja/pegawai. Hanya sekian persen orang benar-benar jadi ilmuwan atau
menekuni jalan sunyi sebagai peneliti.
Tetapi, ironisnya, sebagian besar lembaga
pendidikan kita mengajari mahasiswa/siswanya untuk menjadi calon-calon ilmuwan
yang pintar. Bukan menyiapkan calon tenaga kerja yang kompeten, apalagi
mendidik calon entepreneur yang gigih.
Sementara masyarakat belum juga beranjak dari paradigma lama: “Yang
namanya kuliah itu ya S1, bukan diploma.” Heealaa..... (adrionomatabaru.blogspot.com)
Colek para pendidik vokasi: lilik, agus sjaid, muzammil,
agus tri, endang, tatik, sartono.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon