Kamu bilang: “manusia itu hidupnya di darat.”
Aku bilang: “Eloh aja yang gak pernah cermati kehidupan
pasar terapung di Banjarmasin.”
Ya, di beberapa daerah di Banjarmasin, umpamanya Muara
Kuin, Siring, dan Lok Baintan, masyarakatnya
beraktivitas dan bertransaksi di atas sungai. Mereka cocok bekerja di air, mengambil
rezeki di permukaan kali.
Bahkan sehari-hari bercengkerama dan tidur di atas
air, karena penduduk di sepanjang pinggiran sungai mendirikan rumah terapung.
Rumah berdinding sirap yang disanggah dengan tiang-tiang kayu ulin Kalimantan, sejenis
kayu yang justru semakin kuat bila terendam di air. (Sungguh Allah telah bermurah
hati menyiapkan kayu khusus buat penyanggah hunian mereka.)
Pagi selepas subuh Selasa kemarin, saya dan pak
Sukemi menyaksikan pedagang pasar terapung sudah hilir mudik di sungai
Martapura, tepatnya di pasar Lok Baintan, Desa Sungai Pinang, Kec. Sungai
Tabuk, Kab. Banjar. Mereka mengenakan topi lebar tanggui, yang mengingatkanku pada topi gerilyawan Vietcong dalam film-film Hollywood.
Begitu ada perahu klotok bermesin wisatawan mendekat,
jukung-jukung kecil mereka segera gesit merapat
dan mengerubut dengan kecepatan yang terukur sehingga tidak sampai terjadi
tabrakan. Semua manuver itu mengingatkanku kepada gerakan ikan-ikan di kolam
saat dilempari sejumput makanan.
Mereka riu menawarkan dagangan dengan mengangkat sesisir
pisang, buah mentega, atau jambu agung. Ada yang mengiris jeruk limau atau
mangga kasturi lalu menyodor-nyodorkan untuk diincip gratis. Cukup mengganggu,
sebab aku lebih tertarik memotret semua momentum indah itu.
Sambil mengayuh para ibu itu menjual aneka buah dan
sayur di dalam perahunya. Ada juga yang menjual ikan seluang,
haruan (gabus), dan ikan sepat kering siap santap. Jajan pasar juga tampak: kue cincin lobang empat, kue lapis, dan
nagasari (yang isinya ternyata bukan pisang tetapi labu kuning yang diserut). Oh
itu, ada kerajinan miniatur pasar apung yang cantik.
Mau order segelas kopi atau teh hangat juga dilayani.
Mau nyumbang pembangunan musholla pun tinggal nyemplungkan uang ke perahu khusus
amal jariah.
Di pasar tradisional segera terasa atmosfir tradisi
dan kearifan lokal yang berdenyut. Kalau dicermati, ternyata perahu yang
berseliweran itu ada dua jenis: jukung kecil dan perahu yang agak besar. Uniknya
si perahu yang agak besar tidak mau mendekat ke perahu wisatawan.
“Seperti ada aturan tak tertulis perahu besar itu tak
boleh mendekat kapal kita. Mereka itu semacam agen atau distributor. Mereka
hanya bertransaksi dengan pedagang jukung. Jungkung itulah yang mengecer ke pembeli,”
kata Pak Ashar, dosen Politeknik Banjarmasin, yang begitu hangat mengantar kami
ke TKP.
Setiap Pak Sukemi usai memborong barang, pedagang
yang rata-rata berjilbab itu selalu menyerahkan barang dengan disertai ucapan, “ini
saya jual ya Pak, terima kasih.” Maka segera saya menyahuti, “Iya Bu, saya beli.”
Lihatlah, bukankah ini sebentuk penerapan akad jual
beli yang syar’i, yang kini banyak ditinggalkan orang? Pedagang menyerahkan barang, pembeli
menyerahkan uang, lalu disertai akad
sederhana secara lisan, agar transaksi menjadi halal dan ikhlas bagi kedua
belah pihak.
Dengan menyaksikan rata-rata pedagang pasar
terapung sudah berumur, saya jadi khawatir apakah pasar unik ini kelak bisa
bertahan? Kaderisasi seakan tidak terjadi. Anak-anak zaman now agaknya lebih suka bekerja di darat sebagai pegawai
atau buruh pabrik. Padahal pasar ikonik ini konon sudah ada sejak Kesultanan
Banjar.
Menurut pak Azhar, Pemerintah telah tengah
merevitasisasi pasar terapung sebagai wisata unggulan. Setiap sabtu dan minggu
para pedagang itu diperbolehkan berdagang si sungai ke kawasan tengah kota.
Tentu dengan sentuhan unsur eksebisi dan entertainment, seperti memberi ornamen
indah pada lambung perahu dan memasang rangkaian
bendera warna warni. Jukung-jukung itu juga diminta membentuk formasi bunga
teratai atau memanjang seperti sepur-sepuran.
Saat meninggalkan pasar Lok Baintang, saya melakukan
“ritual” terakhir yaitu memasukkan tangan ke sungai. Menurut mitos setempat, wisatawan
yang mau menyentuh air dan membasuh wajahnya, dia akan dapat balik lagi ke situ.
Saya tidak percaya dengan mitos itu, tetapi saya memang sangat kepingin kembali
menikmati pagi hari di pasar terapung ini. (bersambung)
adrionomatabaru.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon