DIKLAT KERJA BAGI DIFABEL

 

Dalam kompetisi bursa kerja terbuka, meski tampak berlangsung  fair,  sebetulnya tetap saja ada kelompok yang dirugikan dan terabaikan. Mereka adalah kelompok Anak Berkebutuhan Khusus  (ABK), para difabel yang memiliki keterbatasan diri. Dengan keterbatasan yang ada, mereka akan sulit berebut peluang di bursa tenaga yang terbuka dan demikian keras.

Maka perlu ada upaya keberpihakan, perlu kebijakan afirmatif, agar penyandang disabilitas juga mendapat kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak,  dapat turut berkontribusi sebagai SDM produktif yang juga merupakan haknya.

Adalah Balai Diklat Industri Yogyakarta mengambil peran afirmasi yang mulia itu, dengan mengadakan Diklat 3 in 1 berbasis kompetensi bagi pemuda-pemudi tunarungu, tunawicara, tunagrahita, dan penyandang keterbatasan diri lainnya.

Sebanyak 50 orang ABK  lulusan Sekolah Luar Biasa Tingkat National Bagian C  Pembina dari Kec. Lawang Kab. Malang giat berlatih keterampilan menjahit upper alas kaki di BDI Yogyakarta, Jln. Gedong Kuning No. 140 Yogyakarta, pada Oktober hingga November 2017.

Tentu tidak mudah memberi pelatihan buat mereka, karena ada kendala komunikasi. Instruktur tidak serta merta bisa menyampaikan informasinya dengan mudah seperti  biasanya. Oleh karena itu instruktur didampingi oleh translater yang menerjemahkan ucapan instruktur dalam bahasa isyarat yang dapat dimengerti peserta diklat. Tidak hanya itu, sebagian besar peserta juga didampingi oleh seorang guru pendamping.

“Guru-guru pendamping itu juga kami ajari skill menjahit alas kaki, supaya nanti saat pulang ke sekolahnya, bisa mengajari siswa-siswinya sendiri.  Jadi semacam ToT (Training of Trainer)  juga jadinya,” kata Tevi Dwi Kurniaty,S.IP, M.Si, Direktur BDI Yogyakarta.

Program diklat bagi difabel ini merupakan buah kerja sama BDI dengan Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO), dan kalangan industri PT Wangta Agung Surabaya. Pabrik di Jl.  Tanjungsari  Surabaya dengan 10 ribu karyawan ini,  memproduksi aneka sepatu, antara lain merek Ardiles dan Gibor, untuk pasar domestik  maupun ekspor.

Menurut Tevy, para ABK perlu mendapatkan bekal keterampilan, diikutkan uji kompentensi agar skillnya tersertifikasi, sekaligus dicarikan tempat kerjanya. Ini sejalan dengan program Diklat three in one (dilatih – disertifikasi- ditempatkan) yang dicanangkan BDI.  Ide ini gayung bersambut dengan kemauan Wangta Agung yang berniat menambah pekerja dari kaum difabel di perusahaannya. Maka jadilah digelar diklat 3 in 1 tersebut.

 “Pihak Wangta mengatakan, senang mempekerjakan difabel karena kerja mereka ternyata bagus-bagus. Mereka punya komitmen, setia, dan tidak neko-neko,” kata Tevy.

Ke depan pelatihan seperti ini akan terus diselenggarakan, dengan peserta yang lebih banyak dengan diperluaskan asal domisili  pesertanya. Sebuah program humanis yang layak diapresiasi. (*)

Previous
Next Post »