TEKNOLOGI ONLINE, KULTUR OFFLINE


Di depan resepsionis hotel, pria itu kaget gara-gara ditolak chek-in. Padahal dia sudah pesan secara on line sebelumnya. “Lho, saya sudah booking, ini... ” kata Mas Dhani Pette seraya menyodorkan layar smartphone, menunjukkan bukti transaksi elektroniknya.
“Sekarang kan tanggal 27. Bapak pesannya untuk tanggal 28,” si petugas hotel menjelaskan.

Segera saja pria pengelola manajemen artis itu menepuk jidat, menyadari kekeliruannya. Bisakah ditukar?  Resepsionis pun mempersilakan menghubungi pihak pengelola jasa transaksi online untuk melakukan reschedule. Tapi tamu hotel ini enggan menuruti. Sebab berdasar pengalamannya, mengurus kesalahan entry seperti itu tidaklah sejalan dengan janji kemudahan yang diekspos dalam iklan-iklan mereka.

Sebelumnya, dia memang mengalami kerugian serupa. Padahal asli bukan karena kesalahan jempolnya. Toh tidak gampang mengomplainnya. Waktu itu dia pesan tiket Jakarta-Surabaya, untuk kepulangan saya, pada penerbangan pukul sembilan pagi lewat sekian menit. Prosedur memencet opsi jam penerbangan pada layar sentuh sudah benar, tapi yang tercetak kok pukul 05.20 WIB.

Protes pun dilancarkan. Tapi upaya itu hanya membuat pulsanya terkuras banyak, lantaran di”pingpong” petugas bisnis online yang bersikukuh merasa benar. Apakah ini trik mereka, untuk menjual jam-jam penerbangan yang kurang diminati penumpang?

Mas Yugo juga pernah kecele saat chek in di bandara Halim Jakarta. Kreative Director ini sudah terbiasa hilir mudik Jakarta Surabaya. Rupanya, saat membeli on line dia lupa mengubah data tujuan penerbangan. Seharusnya diketik Jakarta menuju Surabaya, karena teledor, mengikuti template lama, jadinya tetap tercetak Surabaya menuju Jakarta. Terus? Yo, hangus, Cak!

Ya, transaksi online amat memudahkan banyak orang dalam beraktivitas. Pembelian melalui jaringan internet mampu meniadakan antrean panjang, tak perlu duwit fisik, dan bisa dilakukan kapan saja, sambil leyeh-leyeh juga bisa.  Tapi teknologi canggih ini setidaknya mensyaratkan beberapa hal mendasar (yang celakanya belum menjadi habit kita) yaitu teliti, akurasi, dan presisi.

Sayangnya, tabiat teknologi itu mirip tamu yang tergesa datang, di saat tuan rumah belum siap menerimanya. Tahu-tahu dia sudah duduk di ruang tamu, sementara kita menyambutnya dengan pola pikir, sikap, dan kebiasaan lama, yang sebagian sudah tidak kompatibel lagi. Bahkan di antara kita ada yang paranoid menatap kehadirannya. Sementara sebagian lagi cuek dengan penetrasi teknologi yang demikian tinggi dan canggih.

Kini teknologi kian terintegrasi secara online, tetapi si mental korup terus saja mencari peluang manipulasi dengan jurus dan pola pikir yang masih offline. Teknologi medsos memudahkan kita berinteraksi dan berbagi informasi, tapi yang membanjir masih kabar hasut dan caci-maki. Dunia maya memudahkan orang untuk berbelanja, tetapi jangan lengah, karena bisnis online tipu-tipu, jaringan pemeras, dan germo prostitusi juga nimbrung di situ.

Yang jelas, ketidakakurasian akan membawa akibat fatal. Bisa lebih buruk dari yang seperti dialami dua teman saya tadi. Setidaknya bisa membuat urusan jadi panjang dan tensi mendadak tinggi. Sungguh benar wejangan embah buyut kita sejak zaman dulu kala, orang hidup itu harus teliti, nastiti, ngati-ati.

Tetanggaku, seorang mahasiswa Universitas Brawijaya, siap berbahagia karena hendak wisuda. Tapi urung gembira karena ketahuan namanya tidak sama dengan akta kelahiran. Ada tambahan kata Muhammad di depan nama aslinya. Maka pihak kampus menyuruh dia bersidang ke pengadilan untuk legalisasi perubahan identitas itu. 

Pengadilan memintanya membawa seberkas dokumen, antara lain KTP, KK ,dan Surat Nikah orang tua. Nah, muncul problem berikutnya. Baru disadari ternyata nama ayahnya yang tertera di KK/KTP tidak sama dengan di Surat Nikah. Yang satu Mustafa, yang satunya Mustofa. Maka kesalahan satu huruf vokal itu harus dituntaskan terlebih dahulu.

Bila dia memilih opsi mengubah surat nikah, maka orangtuanya  harus pergi ke Cianjur Jawa Barat tempat mereka melangsungkan perkawinan. Bila pilih mengubah KK dampaknya juga tidak sederhana. Sebab, itu berarti harus mengubah ijazah anak-anaknya yang lain, yang sudah kadung pakai mana Mustofa. Ruwet tingkat dewa.

Contoh satu lagi. Nama saya sendiri juga menjadi korban, berubah akibat guru SD-ku yang menggampangkan perihal akurasi. Nama asli pemberian orang tuaku sebetulnya Ardiono, tapi oleh guru ditulis Adriono. Ya, sudah, ketimbang ribet, saya ngikut saja.

Akurasi, akurasi, akurasi. Inilah kata yang semestinya digaungkan dalam perilaku hidup modern dan senantiasa mendapat penekanan dalam pembelajaran di sekolah. Beruntung saya pernah bekerja di harian Surabaya Post yang amat peduli dengan akurasi. Kami dididik senantiasa check and recheck atas data yang masih sumir, agar berita yang tersaji di koran terjaga kebenaran dan obyektivitasnya.
 
Berhubungan dengan teknologi online, komputerisasi, otomasi, dan mekantronika, mau tidak mau kita harus cermat dan akurat bila hendak memasukkan sesuatu data agar tidak bermasalah di kemudian hari. Sampeyan yang terlahir pada bulan Pebruari atau Nopember perlu ekstra hati-hati ketika mengisi kolom TTL pada curriculum vitae, supaya nanti dapat dindeteksi oleh sistem KTP elektronik.

Dari awal sudah harus dipilih salah satu: pakai Pebruari pakai “P” atau Februari pakai “F”. Pakai Nopember dengan huruf “p” atau November dengan huruf “v”.
Jangan sampai kelak proses menikah terhambat hanya lantaran tersandung satu huruf. Bisa mbulet seperti  cerita sinetron, Sampeyan.(*)

adrionomatabaru.blogspot.com
foto: drdiy.me





Previous
Next Post »

1 comments:

Write comments
Admin
AUTHOR
March 15, 2020 at 11:40 PM delete

pandangan yang sangat menarik, "teknologi sudah online tapi pola pikir masih offline" semoga pola pikir bisa ikut di online-kan

teknologi terkini

Reply
avatar