STATUS

 Sejak maraknya media sosial, istilah “status” jadi populer dan punya arti baru. Membuat status atau nyetatus berarti menulis sesuatu di wall atau mengunggah gambar/ foto ke dunia maya. Padahal dulu, makna status tidak seperti itu.

Saya masih saja merasa janggal dengan pemekaran makna itu. Tapi karena semua orang sudah  kadung familiar dan istilah itu, ya saya pun ikutan latah mengatakan mau nyetatus bila hendak mengupload tulisan atau foto ke medsos.

Tapi boleh jadi istilah status di medsos itu memang berkaitan dengan status yang kita pahami selama ini. Sebab tiap seseorang g mengunggah sesuatu, sesungguhnya dia tengah menempelkan status dirinya di dunia maya.  Aktivitas dan panorama yang menjadi latar belakang selfie seseorana seolah mengabarkan eksistensi diri serta status sosial ekonominya. Curhatan dan cuwitannya adalah indikator sampai pada tingkat apa status kegalauan dan kemarahan si pembuatnya.

Agaknya status memang punya banyak makna dan dimensi. Status sosial seseorang berkaitan dengan kedudukan atau strata sosial di masyarakat. Ada kelas bawah, ada kasta menengah, ada juga strata hight level atau kaum jetset.

Semakin tinggi kelas sosial semakin tinggi status dia di mata masyarakat. Pitirim Sorokin berteori, status sosial seseorang dapat diukur dari jabatan, pendidikan atau keilmuan, kekayaan, politik, keturunan, dan agama.

Status juga berhubungan dengan kejelasan identitas.  Orang-orang berupaya memiliki status tertentu sebab status “geje” (gak jelas) selalu berkonotasi negatif. Pengangguran, setengah nganggur adalah “label” yang berusaha dihindari. Jomblo maupun hubungan yang tak resmi berupaya disudahi oleh hampir semua orang. Supaya di KTP jelas tertulis, status: menikah.

Itulah sebabnya banyak orang yang rela bertahan bekerja di suatu bidang yang tidak diminati  dengan upah sekadarnya lantaran ngeri dengan status pengangguran. Mungkin karena itu juga ada pasangan yang terpaksa mempertahankan hubungan demi status belaka, sebagaimana tergambar dalam refrein lagu  Vidi Aldiano: “Terpaksa aku mencintai dirimu. Hanya untuk status palsu...”

Pada setiap institusi maupun komunitas, selalu ada hirarkhi. Puncak piramida tertinggi adalah status terpandang yang diingini semua orang. Di sekolah status tertinggi adalah kepala sekolah. Di kantor kecamatan orang nomor satunya adalah camat. Di kampus, menyandang gelar profesor  adalah prestasi puncak. Sementara di kalangan budaya santri, mendapat titel haji adalah status yang membanggakan. Apalagi bila dilengkapi elar “kyai haji” atau “tuan guru haji.”

Kini status bukan lagi sekadar identitas atau penanda strata melainkan sudah menjadi obsesi serta tujuan hidup yang berusaha diraih mati-matian oleh banyak orang. Semua daya dikerahkan, bahkan bila perlu semua cara dihalalkan demi mendapatkan status yang diimpikan.

Lalu, status apakah yang tertinggi di muka bumi ini? Kedudukan apakah yang sesungguhnya berada dipuncak tangga hirarkhi kekuasaan, keilmuan, kesalehan, maupun  kekayaan?  Ustad Drs H. Imam Fakhruddin (Surabaya) punya jawaban menarik. Menurutnya, status tertinggi di bukanlah menjadi presiden atau raja, tetapi justru menjadi hamba Allah.

Lantas beliau mengambil analogi sederhana. Menjadi sopir angkot boleh jadi bukanlah profesi yang menarik. Tetapi bila kata “sopir” itu diembel-embeli dengan kata “presiden” maka kesannya jadi lain. Menjadi “sopir presiden” jelas posisi istimewa yang membanggakan.

“Demikian juga dengan hamba. Kata hamba, apalagi hamba sahaya atau budak, adalah kasta terbawah, bahkan terkesan hina. Tapi bila kata hamba digandeng dengan kata Allah, menjadi ‘hamba Allah’, maka itulah sebenarnya status atau jabatan tertinggi  bagi manusia,” katanya.

Dikatakan, dalam sebuah riwayat, melalui malaikat khusus, Tuhan menawari Rasulullah Muhammad SAW untuk memilih gelar apapun yang disuka. Tetapi ternyata beliau tidak memilih satupun opsi keren yang disodorkan. Junjungan kita justru “cuma” memilih gelar Abdullah, menjadi Hamba Allah.

Menjadi hamba sungguh berat sekaligus mulia. “Job discriptions” bagi seorang hamba sangatlah jelas: patuh total kepada sang juragan. Bahkan semua kepentingan pribadi dan privasinya diabaikan demi pengabdian penuh kepada sang majikan. Demikian juga kiranya menjadi hamba Allah. Menaati semua perintahNya dan menjauhi semua larangan Sang Maha Juragan.

Nah, adakah status yang lebih tinggi dari menjadi Hamba Allah? Kedudukan ini jelas lebih mulia jika dibandingkan dengan hamba kekuasaan, hamba harta, hamba nafsu, apalagi dengan hamba setan. (*)

adrionomatabaru.blogspot.com

ilustrasi: jarumbeasiswaplus.com
Previous
Next Post »