ANTARA KAU, AKU, DAN KANCIL


DULU saat usia TK, kita mengisi dunia surga anak dengan main di teras bersama teman sebaya. Mewarnai buku gambar dengan crayon. Kau asyik menggores warna pink ke atas gambar bunga tulip, sedang aku menuntaskan warna coklat di perut kancil.

“Kamu pinter, kayak kancil,” katamu mengamati karyaku. Aku tidak tersanjung. Sebab aku ingin kau menjulukiku sebagai harimau atau setidaknya ayam jantan.

Di bangku SD, guru kami gemar mendongeng tentang kancil yang punya seribu akal untuk menyelamatkan  diri. Pak Guru selalu memungkasi cerita dengan pesan moral klise: “Jadi, anak-anak. Kalian harus rajin belajar supaya menjadi orang yang cerdas seperti kancil.”
Di deretan bangku sebelah kanan kau tersenyum ke arahku, lalu menunjuk sesuatu ke lantai: “Sstt… kancil, pensilmu jatuh.”

Demikian banyak kisah kancil masuk memoriku, mulai dari episode kancil mencuri mentimun, kancil mengecoh buaya, hingga kancil mempedayai gajah. Begitu jadi remaja, aku mulai mempertanyakan aspek moral dalam dongeng legendaris itu. Mengapa tabiat tokoh sentralnya justru suka nyolong dan tukang kibul?

Ya, boleh jadi dongeng kancil merupakan produk budaya pribumi bermental inlander, lantaran terjajah Belanda ratusan tahun. Sang pengarang fabel itu mengidentifikasi diri sebagai pelanduk kecil yang berada di bawah kangkangan kekuasaan di raja hutan. Merasa tidak mampu melawan head to head maka dia melawan dengan kecerdikan dan muslihat. Dongeng ini minimal menjadi penghibur bagi bangsa yang belum merdeka.

“Kancil itu bukan menipu,” ucapmu tatkala pulang kampung, pas libur semester kuliah. Entah dari mana njluntrungannya tahu-tahu kita ngobrol soal kancil.
“Si kancil hanya bersiasat. Dalam politik siasat itu sah.”

Karena engkau mahasiswi FISIP, aku mendengar dengan seksama penjelasanmu, meski sebenarnya aku lebih menikmati gerak bibir indah dan mata mengerjap. Diksimu cerdas, tersaji lewat lidah yang piawai berkata-kata.

Perhatikan, penggunaan istilah “siasat”mu itu membuat segala macam tipu-daya, janji palsu, keculasan, bahkan kelicikan seolah menjadi kewajaran yang dimaklumkan dalam praktik berpolitik praktis. Wow, engkau sekarang sudah lebih kancil dariku. Sedang aku, sampai kini aku belum juga menemukan siasat jitu untuk memikatku. 

 “Sdh bc koran hr ini?,” SMS-mu datang tak terduga.
“Ttg Salim Kancil. Kasihan,”  kirimmu berikutnya.

Kini kamu telah sukses menjadi anggota legislatif di sebuah kabupaten. Pantas jika update dengan isu-isu aktual. Salim kancil adalah korban pembunuhan sadis gegara menentang penambangan pasir liar di Lumajang.

“Kau terobsesi kancil rupanya,” kuketik jawaban. Segera kutekan tombol kirim.
“Gak. Cuma tiap dengar kt kancil, aku ingat kmu. Makanya aku SMS. Wkwkwk…”
Aku tak percaya jawaban itu, tapi sayangnya tak berani mengetik di keypad untuk konfirmasi.

Saat reuni akbar SMA digelar, kau jadi sosok idola. Teman-teman merubung dan berebut minta selfi. Sementara aku pilih menyibukkan diri menggeser-geser tumpukan doorprize. Tapi di saat break makan kau malah duduk di sampingku.
“Aku capek,” kau menoleh. Wajah itu bermendung.
“Kenapa?”
“Capek jadi kancil politik.”

Kau lantas bercerita tentang duniamu yang cenderung abu-abu dan bernuansa transaksional. Tawa dan airmata sering bermuatan kepentingan. Menurutmu, lebih tenteram hidup sebagai petani.  Petani makan dari padi dan sayur yang ditanamnya sendiri. Adakah contoh makanan halal yang lebih konkret dari itu?  “Aku mau jadi petani saja,” kamu melambai tangan saat pulang.

Malamnya kucoba menulis di WA. Tidak kukirim ke grup alumni, tapi langsung japri.
“Kalau kmu ingin jadi petani. Aku malah kepingin jd timun.”
“Kok…???” balasmu pendek.

Perjuangan hidup mentimun adalah berupaya menghasilkan buah yang manfaat. Tak peduli bakal dijadikan lalapan para menteri, kyai, atau cuma dikremus gigi kancil. Sepanjang buahku termakan, berarti tugas dan fitrahku sebagai mentimun telah kutunaikan.

“Ah, kamu. Ekonom kok altruis. Mau jd Resi Bisma?” balasmu disertai emoticon orang tersenyum
“Bkn. Aku cuma pria mentimun.”
“Maksud lo?”
“Sdh tua masih suka nglamun.”

Kau kirim jawab dengan sederet gambar orang tertawa yang keluar airmatanya.  Ingin kubalas dengan ikon-ikon berkonotasi mesra. Tetapi urung kupencet. Sebab, sebagai mentimun, tak selayaknya aku bertindak agresif. (*)

adrionomatabaru.blogspot.com
ilustrasi : dongengceritarakyat.com
Colek: Cak Suhartoko, Imung, Diena, arief r, ely. ardiana
Previous
Next Post »