Meniru kerap dikonotasikan sebagai tindakan kurang
terpuji, karena itu cenderung dihindari.
Dalam dunia kreatif, kegiatan meniru dipandang
sebagai pertanda kelemahan. Kalangan seniman seperti “mengharamkan” diri untuk
meniru. Jangankan meniru, membuat karya seni yang mirip-mirip saja sudah
dituding sebagai epigon, pengekor, latah, plagiat, atau sederet istilah minor lainnya.
Diam-diam dunia pendidikan juga turut berkontribusi
“mendeskreditkan” kata meniru sebagai aktivitas yang tak pantas dilakukan.
Menggambar dengan teknik menjiplak hanya ditoleransi pada level Taman Kanak
Kanak. Sedang guru SD rata-rata sudah melarang anak didiknya menggambar dengan
teknik mencontoh gambar orang lain. “Ayo
sayang, belajar menggambar sendiri dong.”
Sang penemu maupun kreator memang tampil sosok yang
mengagumkan. Dia hadir sebagai trenseter
yang segera diikuti oleh berjuta follower.
Tetapi statemen ini bukan berarti bahwa para pengikut identik dengan pecundang.
Lagi pula apa salahnya perbuatan meniru?
Untunglah kehidupan tidak menuntut kita untuk
bersikap se-perfect itu. Sebab tidak
semua orang terlahir berbekal daya kreatif yang tinggi. Tidak setiap waktu
lahir penemu. Tidak setiap hari hadir inovasi. Bahkan realitas kehidupan justru
menunjukkan, bahwa banyak peniru justru yang bisa tampil gemilang.
Dunia bisnis dapat dijadikan contoh konkret yang gamblang.
Serbuan restoran ayam goreng ala fried chicken Amerika ke negeri
ini, justru dijawab entrepreneur kita
dengan cara meniru persis sajian cepat saji itu, lalu menjualnya dengan harga
yang jauh lebih murah di pujasera atau di trotoar jalan. Dan terbukti banyak fried chicken “kawe” yang digemari pembeli dan mampu membuka gerai di mana-mana.
Larisnya air minuman dalam kemasan yang dimotori
oleh Aqua segera diikuti oleh sederet pengekor dalam berbagai merek dan variasi
harga. Buktinya, mereka eksis semua dengan menggarap ceruk dan pangsa pasar
masing-masing.
Dulu Jepang juga tergolong peniru ulung. Sehingga
pernah muncul istilah emas imitasi, perhiasan yang mirip emas tetapi semua itu
hanya tiruan. Demikian juga dengan produk-produk elektronik dari Cina dan Korea,
dulu juga dianggap sebagai barang tiruan kelas dua yang murah dan dicibir. Tapi
sekarang produk mereka tampil gagah merajai pasaran dan diakui kualitasnya.
Tentu saja meniru dalam konteks ini bukan asal
meniru. Meniru yang strategis dan terencana. Bagai pelari maraton, seorang
atlet tidak perlu harus tampil pada posisi terdepan sepanjang pertandingan. Dia
cukup ajeg berlari menempel pada pelari urutan kedua atau ketiga. Baru pada
momen menjelang garis finish dia
tancap gas menyalip para pendahulunya.
Meniru bukanlah aib. Bahkan sebetulnya merupakan
salah satu tahapan dalam proses belajar yang wajar. Jauh hari guru bangsa Ki Hadjar Dewantoro sudah
memberi piwulang bahwa proses belajar
itu terdiri dari tiga N: Niteni, Nirokke,
Nambahi (mengamati, menirukan, dan menambahi). Dalam bahasa yang lebih
kekinian konsep itu senada dengan ungkapan ATM (amati, tiru, modifikasi).
Jadi, amati saja dengan seksama hal-hal yang Anda
minati. Lantas tirukan tanpa ragu. Tentu saja tidak berhenti sebatas meniru,
tetapi harus ditambahi dan dimodifikasi sesuai dengan konteks, kebutuhan, situasi,
maupun kondisi.
Sayangnya, yang sering terjadi adalah kegiatan
meniru yang terlambat dan kagetan. Barangkali ini lebih cocok disebut
latah-latahan. Ingat ketika booming
batu akik tempo hari? Banyak teman dan tetanggaku bersemangat membeli mesin
gerinda seraya bermimpi menjadi pengrajin batu akik sukses. Mereka terlambat. Baru
bergabung tatkala pasar telah mencapai kulminasi kejenuhan. Demikian juga para
pemburu rupiah yang menjadi korban investasi bodong, umumnya adalah tipe peniru
yang kagetan.
Selamat meniru, tapi jangan asal niru. adrionomatabaru.blogspot.com
Sumber ilustrasi : linkendin.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon