BINCANG WEDANG




BUKAN cuma rasa yang ada dalam secangkir wedang. Tetapi juga manfaat, identitas, harapan, bahkan juga cinta. Pagi hari isteriku biasa menyediakan secangkir wedang jahe, kadang temulawak, pernah juga godogan daun salam campur batang serei. Tapi tidak selalu.

Saya segera menyeruputnya, meski tidak tahu detail apa kandungan dan khasiatnya bagi kesehatan. Yang pasti, saya wajib menghabiskannya lantaran wedang itu diaduk dengan kesetiaan dan disuguhkan dalam kehangatan kasih sayang …cieee… 

Saya berusaha tidak mewajibkan diri untuk rutin minum wedang, sebab “ritual” semacam itu hanya akan menimbulkan ketergantungan dan dapat merepotkan saat sedang mbolang di perjalanan.

Oleh karena itu saya tidak menjadi penggemar fanatik minuman tertentu. Kopi mau, teh oke, softdrink rasa-rasa juga gak nolak. Tapi kalau diberi opsi maka saya akan memilih air putih. Soalnya, saya tidak kerasan dengan rasa manis yang melengket di lidah. Meki demikian saya belum bisa menghirup teh tawar seperti yang biasa dilakukan teman Son Andries setiap usai makan.

Tetapi setelah sempat berbincang dengan dokter Arijanto Jonosewojo, dr., Sp., PD, Ketua Program Studi Pengobat Tradisional (Battra) FK Universitas Airlangga, saya jadi berubah pikiran. Bila hendak minum saya inginnya memilih minuman herbal, apapun jenisnya.

“Daripada minum kopi atau teh, ada baiknya Anda pilih minuman warisan nenek moyang. Entah sinom, beras kecur, kunyit, temulawak, atau apalah. Sebab minuman-minuman itu pasti ada manfaatnya. Badan jadi anget, masuk angin bisa hilang,” katanya suatu siang di kampus A.

Beliau sempat mempersilakan saya mencicipi wedang pokak made in mahasiswa asuhannya. Hemm, hangat rempah-rempah memenuhi rongga mulut. Mbah google memberitahuku, wedang pokak terbuat dari serei, kapulaga, kayu manis, cengkih, jahe, gula pasir, dan  gula aren

Menurut dokter Arijanto, Indonesia amat kaya dengan keanekaragaman hayati. Tapi sayangnya kita belum memanfaatkan secara maksimal. Sementara negara lain sudah berlomba mengeksplorasi, meneliti, dan menguji klinis. Jamu dan  ramuan tanaman herbal mereka naikkan “kasta”nya hingga menjadi fitofarmaka sehingga dapat diresepkan oleh dokter.

Agaknya menyedu wedang maupun jamu juga butuh ilmu, supaya tidak keliru. Contohnya, wedang temulawak. Ada orang mengosumsi temulawak sebagai antioksidan, antiradang, maupun untuk mengobati sakit liver, namun yang didapati badannya menjadi gemuk. Apa yang salah?

Ternyata cara pengolahan juga perlu diperhatikan. Rimpang temulawak segar yang langsung dibuat  wedang masih mengandung minyak atsiri. Minyak ini bersifat karminatif (mengeluarkan gas dari pencernaan) sehingga dapat merangsang nafsu makan.

“Temulawak bisa menurunkan kolesterol jahat. Tapi kita juga harus lihat bagaimana cara membuatnya. Menurut penelitian, yang menimbulkan nafsu makan itu minyak atsirinya. Untuk menyingkirkan kandungan minyak atsiri, temulawak harus dipotong dan dijemur dulu. Kalau temulawak mentah langsung direbus maka bisa membangkitkan nafsu makan dan itu menyulut obesitas,” katanya.

Bila sedang cangkrukan dengan ustad Heru Tjahyono dkk di kantor PCM Ngagel Jl. Pucang Jajar, saya suka memesan wedang secang dari warung kecil depan SMA Muhammadiyah II. Warnanya merah, ada sensasi aneka rasa menyentuh lidah.

Saya beberapa kali juga sempat disuguhi Pak Sukemi wedang uwuh saat anjang sana ke rumahnya. Aroma harum meruap. Ada pedas jahe, merah secang, cengkih, pala, serei, kapulaga, dan manis gula batu.  Semua bahan dicemplungkan ke gelas hingga mirip setumpuk uwuh (sampah). Minggu kemarin kami juga sempat merasakan bir pletok di rumah makan Betawi kawasan Pondok Cabe. Meski namanya bir, dia tidak beralkohol.

“Kayaknya istilah itu dibuat oleh muslim Betawi yang ngiri kepada penjajahBelanda. Mau ikutan minum bir gak berani. Akhirnya minuman rempah jahe, pandan wangi, dan sereh disebutnya bir pletok. Biar keren,” kata Sukemi yang asli dari kampung Condet.

Bila pergi ke Purwosari Pasuruan yang paling kusuka adalah suguhan jamu kebon agung buatan bu Rini Rastuti. Rasanya juga nano-nano, ada keningar, kapulaga, dan gula jawa. Kenapa tidak diproduksi massal dan dikomersialkan saja, Cikgu? Ternyata ada satu bahan yang mulai  langka dan sulit didapat: gula kerekan. Yaitu gula jawa berbentuk bulat seperti tablet raksasa dan terbungkus daun tebu. Sementara yang ada di pasaran kebanyakan gula merah dalam bentuk mangkok bathok atau batangan seperti kue putu.

Nah, apapun makanannya, ada baiknya minumnya adalah wedang herbal.

adrionomatabaru.blogspot.com
Sumber foto: Njogja.co.id, khasjakarta.co.id, manfaat.co.id
Colek: Janan trimakasih foto wedang jahe sampeyan menginspirasi tulisan ini. Indrasari, Tatik, Andriyani.

Previous
Next Post »