Keberadaan jaranan, kuda lumping, jatilan, atau
barongan tampaknya kian tersisih. Tetapi seni tradisi ini tidak bakalan mati. Sebagai karya budaya
dan sebentuk kearifan lokal, jaranan akan tetap eksis karena berdenyut dan
dipelihara oleh masyarakatnya. Bahkan seni jarananlah yang paling eksplisit menyindir
perangai buruk oknum penguasa saat ini.
Musik yang rancak, bunyi terompet yang
melengking-lengking, membuat penari jaran kepang tampil energik dan memesona.
Sebagaimana banyak seni trasidi lainnya, jaranan menjadi performance komplet multidimensi. Tidak sekadar tari, tapi juga ada
nilai-nilai di dalamnya. Tidak hanya nembang diiringi gamelan tetapi juga ada
unsur ritualnya, bahkan magis.
Sekawanan kuda lumping dan sekelompok barong
bertemu dan perang tanding sepertinya melukiskan friksi abadi: kebaikan melawan keburukan. Pawang atau semacam dukun berkostum hitam yang
mondar mandir, bau dupa yang mengepul dari prapen, dan sesaji di sudut panggung
turut hadir menjadi seni instalasi yang melengkapi tontonan ini. Sajian seni memang
untuk dinikmati oleh rasa, jadi tidak perlu seluruhnya dimengerti oleh logika.
Musik menggema semakin keras hingga hingga membuat
banyak pemain jaranan mulai “ndadi”,
kesurupan, atau trance. Mereka tidak
sadarkan diri meski tubuhnya tetap bisa menari. Inilah justru adegan yang
ditunggu-tunggu penonton jaranan. Menyaksikan orang ndadi yang sanggup makan kaca, tanah, mengunyah uang kertas, atau
melakukan apa saya yang di luar nalar. Nonton jaranan itu ngeri-ngeri asyik.
Tentu tidak perlu takut dengan jaranan ndadi.
Ini hanya pentas seni. Semua terkendali karena ada orang pintar yang
bertanggung jawab terhadap jalannya atraksi.
Mestinya yang justru ditakuti adalah fenomena ndadi yang banyak terjadi pada realitas saat ini. Betapa banyak pejabat
yang ndadi, kehilangan kesadarannya,
lantas korupsi seenak hati. Betapa kerap kita saksikan pemimpin dan wakil
rakyat yang kesurupan terhadap kekuasaan dan nafsu serakah duniawi.
Mereka ini tidak hanya makan kaca, plastik, tetapi
juga memakan hutan dan pulau, mengunyah anggaran hingga perizinan. Semua
kebatilan dilahap dalam kondisi ”trance” yang sempurna. Tidak seperti dalam
pentas jaranan, mereka ndadi tanpa
ada pawang pengontrol yang dapat menyadarkan diri mereka lagi.
Musik jaranan terus bertalu. Menyapa jiwa dan
menebarkan kabar tentang pentingnya kesadaran dan bahayanya ketidaksadaran. Tetapi
kini makin hari makin banyak “pemain” jaranan keluar arena pertunjukan. Mereka
menari lalu ndadi di dalam berbagai lingkaran politik, ekonomi, sosial,
dan budaya.
Penyanyi Sawung Jabo pun mengkritik dengan musik
barocknya:
Kuda lumping
nasibnya nungging
Mencari makan
terpontang-panting
…………………………………
Para penipu
berkeliaran
Makan tanah memperkosa
fakta
Mulutnya
berbusa, mulutnya berbusa…
Tapi yang tidak kalah seru adalah plesetan refrain lagu Kuda Lumping Elvi Sukaesih di panggung-panggung dangdut pasar
malam:
Itu kuda lumping, kuda lumping, kuda lumping…..
Kesurupan.
Itu kuda lumping, kuda lumping, kuda lumping…..
Gak kathokan….!!!
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon