Kebutuhan dunia kerja berubah demikian
cepat, sehingga pendidikan kerap keponthal-ponthal
(pontang-panting) dalam mengejar dan menyelaraskan diri.
Sebuah survei yang dilaporkan The Economist Intellegence Unit menunjukkan,
skill utama yang dibutuhkan dunia
kerja saat ini adalah kemampuan
memecahkan masalah (50%), kemampuan bekerja sama (35%), skill komunikasi (32%),
berpikir kritis (27%), dan kreatif (21%).
“Pertanyaannya: apakah sekolah-sekolah
kita telah menyiapkan lulusannya dengan kapasitas semacam itu?”
Prof. Muchlas Samani mempertanyakan
hal itu di hadapan para kepala sekolah dan guru SD se-Kec. Pandaan, dalam acara
seminar pendidikan bertajuk “Semua
Dihandle Google, Tugas Sekolah Apa?”Acara berlangsung di SD Maarif Jogosari, Sabtu
siang.
Kegalauan guru besar Universitas
Negeri Surabaya itu cukup beralasan mengingat lembaga pendidikan formal saat
ini masih belum banyak yang mengacu kepada pembelajaran berbasis problem solving, team work, maupun communication skill.
Siswa masih didrill latihan soal multiple
choice dengan goal agar sukses menempuh
UN. LBB cuma getol mengajari trik cepat nggarap soal, mencermati pola soal beserta
jebakannya. Memberikan tugas kelompok masih sebagai tugas selingan, karena yang
dimaksud dengan “prestasi” masih diasosiasikan sebagai prestasi individual
siswa.
Demikian juga pengembangan kemampuan
berkomunikasi (lisan maupun tulisan) belum
mendapat proporsi memadai. Rata-rata
siswa kita masih gagap saat ditanya spontan atau disuruh bicara di depan kelas.
Coba suruh siswa SMA menulis surat untuk pinjam tenda ke kelurahan, dijamin dia
kebingungan menyusun kata-kata.
***
Teknologi informasi melesat cepat.
Anak-anak generasi Z (kisaran usia SD hingga SMA) kian familier dengan dunia maya
dan perangkat gadget. Sebuah generasi yang memiliki karakteristik enggan baca
buku, malas diberitahu secara lisan, maunya deskripsi pendek-pendek dan banyak
tampilan visual. Rasa ingin tahunya tinggi, open
mind, tapi pikirannya gampang melompat-lompat ke berbagai topik tanpa
perenungan dan pengendapan.
“Pertanyaannya: model pembelajaran
seperti apa yang cocok bagi generasi Z semacam itu?”
Ada sebagian guru yang tidak peduli
dengan datangnya era cyber sehingga
cara mengajarnya tetap saja gaya lama. Sementara sebagian lagi gagap menyikapi
keadaan. Sang Umar Bakri sibuk menerangjelaskan panjang lebar definisi dan setumpuk
informasi dengan medium buku paket, sementara siswa sudah terbiasa mengunduh data
dari mbah Google. Hanya dengan sekali klik.
“Tugas guru harus meningkat menjadi
pemandu menggali informasi dan
menggunakannya untuk memecahkan masalah kehidupan secara kreatif dan bijak. Guru
hendaknya mampu memandu siswa merancang berbagai alternatif solusi serta
memilih mana yang paling tepat,” kata Prof Muchlas.
Ya, pada akhirnya tugas sekolah adalah menyiapkan lulusannya
menjadi pribadi yang mampu memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi.
adrionomatabaru.blogspot.com
Fotografer: Ardiana Farry
Colek : Sukemi kemi, Miftahul Ulum, Khusnaini, Agus Anang , satria darma,
Anas riesnas, syamsul sodiq, mas hartoko.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon