Ketika masih SD guru saya memberi soal ulangan ilmu bumi:
Sebutkan pulau penghasil aspal. Tanpa ragu saya jawab Pulau Buton, karena saya
menghafal dari buku paket. Tapi dimana dan bagaimana keberadaan pulau itu saya blank. Semua hanya ada di awang-awang. (Betapa
banyak mata pelajaran yang cuma berupa bayang-bayang kabur di benak siswa).
Namun Rabu-Kamis kemarin saya dan rekan Sukemi kemi
dapat menyaksikan secara live pulau yang
saya tulis dalam lembar jawaban ulangan itu. Jika Sulawesi diibaratkan sebagai
huruf “K” maka Buton adalah salah satu pulau yang terletak di ujung kaki kanan
huruf “K” tersebut.
Memasuki pelabuhan Baubau, Buton, dengan kapal
cepat dari Kendari butuh waktu sekitar 5 jam. Seperti kata Koes Plus, “tiada badai tiada topan kau temui”, kami
bisa melaju di atas perairan yang tenang lantaran berada di selat yang panjang.
Hingga kini Buton masih tetap menghasilkan aspal.
Tetapi sudah tidak sepopuler dulu lagi. Seperti halnya BUMN lainnya di era
reformasi, PT Aspal telah kehilangan previlage
sebagai pemasok tunggal kebutuhan proyek-proyek pemerintah. Dia harus
mengembangkan keunggulan komparatifnya sendiri bila ingin eksis dalam bisnis .
Baru sekarang saya mengerti bahwa Buton tidak hanya
identik dengan aspal. Kawasan ini menyimpan pesona alam dan kaya budaya. “Pulau
seribu benteng” adalah sebutan yang disematkan kepadanya. Benteng kokoh dari
batu yang melingkari bukit sepanjang dua kilometer itu menjadi saksi bisu bahwa
pulau ini sejak dulu telah memiliki peradaban dan sistem pertahanan yang tinggi.
Pada sela-sela benteng Kerajaan Buton terdapat
meriam yang siap menghalau musuh. Dengan berdiri di benteng ini maka akan dapat
dilihat panorama indah seantero kota. Lembah ngarai, laut biru, serta denyut
ekonomi di pelabuhan yang ramai penumpang
dan dipadati tumpukan peti kemas di pelatarannya.
Sejak pertengahan abad XIV Buton telah eksis
sebagai sebuah kerajaan. Ketika Islam datang pada 1538 M, raja ke-6 mengubah
kerajaan menjadi kesultanan. Hingga kini tercatat dalam prasasti terdapat 43
raja/sultan yang memimpin negeri itu.
Yang menarik, meski berbentuk kesultanan, mahkota
tidak berpindah berdasar garis keturunan. Suksesi kepemimpinan dilakukan
melalui musyawarah oleh forum tetuah tokoh masyarakat. Sebentuk sistem monarchi
konstitusional yang unik dan menarik untuk dikaji.
Apa ukuran utama untuk menjadi seorang sultan?
Jawabnya satu: Akhlak. Sikap, perilaku, dan kepribadian kandidat menjadi
pertaruhan. Pemimpin haruslah orang-orang yang benar-benar baik akhlaknya.
Antara kata dan perbuatan harus sejalan, sebagaimana terpatri dalam ungkapan “salipa”.
Undang-undang dan agama mesti dijunjung tinggi. Perhatikan syair berikut
ini:
Indaindamo arta somanamo karo
Indaindamo karo somanamo lipu
Indaindamo lipu somanamo syara
Indaindamo syara somanamo agama
Biarlah harta tiada asalkan (harga) diri (ada).
Biarkan diri tiada asalkan negeri (jaya). Biarkan negeri tiada asalkan
syara/hukum (tegak). Biarkan syara tiada asalkan agama (ada).
Kebijakan ini bukan sekadar ajaran normatif belaka.
Sebab dalam sejarah kesultanan Buton terdapat beberapa sultan yang dilengserkan
karena melanggar hukum dan susila. Ada
yang bertahta hanya tiga bulan. Sultan ke-14 malah berkuasa cuma tujuh hari.
Bahkan ada yang mengakhiri kekuasaannya dengan menyerahkan nyawa ke meja
hukuman mati. Penguasa dan rakyat sudah semestinya tunduk kepada syara’ atau
hukum. Ah, andai saja local wisdom dari
Sulawesi Tenggara ini menjadi acuan para pemimpin negeri saat ini.
Kesultanan Buton tidak memiliki istana permanen.
Sebab, konon, begitu seseorang terpilih menjadi sultan maka otomatis rumah
pribadinya dianggap sebagai keraton pusat pemerintahan. Rumah panggung mereka
terbuat dari kayu dengan ukir-ukiran indah di teras rumah. Rumah bertingkat tinggi
itu didirikan tanpa sebiji paku sama sekali. Sultan biasanya bermukim di kamar
depan bagian kiri.
Mengapa begitu? “Rumah bagi kami ibarat sebuah tubuh.
Jantung kita terletak di dada kiri. Sultan, juga setiap kepala rumah tangga,
adalah jantung bagi rumah tangganya. Jadi dia harus berada di kamar depan
sebelah kiri. Sedang anak gadis, yang dilindungi, tinggal di kamar dalam
sebelah kiri,” kata La Ode Ramlan, SE, MSi, Wakil Rektor II Universitas Danayu
Ikhsanuddin, Baubau, yang setia menemani kami mengenali atmosfir Baubau.
Satu hari adalah durasi yang amat pendek untuk
menjelajahi sekujur tubuh Buton. Saya masih belum sempat mendalami aksara lokal
yang menyerupai huruf hijaiyah gundul. Huruf-huruf kuno itu dipolulerkan lagi
dengan cara dimunculkan pada setiap papan nama jalan.
Sungguh Buton termasuk destinasi yang layak
dikunjungi. Apalagi pesawat terbang sudah bisa mendarat di sini. Sayangnya
Buton masih kurang publikasi. Namanya masih kalah populer dibanding gugusan pulau
tetangganya yaitu Wakatobi (Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Pulau
Biongko).
Oh ya, Anda doyan gurihnya camilan kacang mete? Di
Buton sini nih tempatnya. (adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon