Mumpung ada huruf “A”, saya numpang bergaya. Memang
inisial A terasa penting bagi saya, karena namaku di awali dengan aksara itu.
Orang-orang A seakan diistimewakan karena dia cenderung didahulukan dalam
banyak acara, program, maupun kesempatan.
Tapi sewaktu SD sempat tidak suka dengan nama saya.
Soalnya, dalam daftar persensi kelas saya selalu berada di urutan nomor-nomor
atas. Bila ada tugas hafalan perkalian, maka nomer absen awal pasti tampil
duluan.
Apalagi bila ada kegiatan imunisasi atau “cublikan”
di sekolah, maka kami kena batunya. Siswa-siswa huruf A harus berbaris paling
depan, menjadi korban pertama. Lengan baju diangkat lalu dokter mencubles atau
membaret jarum suntik di pangkal lengan. Aduh mak… mau nangis malu.
Apalagi dokter jaman lalu sok lebay. Untuk mensterilkan
jarum suntik yang tidak sekali pakai, mereka
membakar jarum di ujung api dengan terang-terangan di depan siswa. Saya
pun waktu itu mengira jarum suntik pastilah tajam dan panas. “Ya Allah, mengapa
dulu ayahku memberi nama dengan huruf A? Mengapa kok tidak Zainal atau
Zainuddin MZ gitu sih?” (adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon