Setiap kata adalah butiran keringat. Setiap tanda baca menggambarkan
ke mana saja kaki melangkah. Membuat karya tulis bukanlah pekerjaan yang dengan
mudah dapat diambil dari awang-awang lantas diketik dari belakang meja begitu
saja. Apalagi untuk tulisan nonfiksi seperti yang sedang kukerjakan sekarang. (Bahkan
tulisan fiksipun menurutku wajib diback
up dengan referensi, pemahaman terhadap masalah, serta observasi lapangan
yang memadai).
Seperti yang saya lakukan seharian tadi. Saya perlu membolang ke kampus Lakidende, Kab.
Konawe, Sulawesi Tenggara. Kemarin siang berdiskusi panjang dengan rektor dan
jajaran Universitas Muhammadiyah Kendari. Dan besok pagi harus bergegas nyeberang ke
Baubau di Pulau Buton guna mengunjungi Unidayan.
Semua itu dilakukan demi untuk memunguti fakta, menjaring
keterangan, mengais data, serta mengamati kenyataan, walau nanti mungkin hanya
menghasilkan beberapa penggal paragraf. Oh, tidak hanya “memungut” tetapi juga
menelan dan mengunyah untuk kemudian melahirkan menjadi rangkaian kalimat yang memikat.
Perjalanan panjang berkelok ke tekape, mabuk darat, mengontak
narahubung, menunggu narasumber, berwawancara sembari mengendalikan waktu,
hingga mencopy data dan dokumen yang relevan adalah proses “belanja” yang
panjang sebelum akhirnya saya balik ke dapur guna memilah, memasak, dan meracik
hingga menghasilkan alinea demi alinea tulisan.
Ya temans, saya tengah mengerjakan tulisan tentang kondisi
dan perkembangan perguruan tinggi swasta di bumi Sulawesi, di bawah naungan
Kopertis IX. Tidak sendirian, kali ini saya berangkat bersama Sukemi Kemi.
Sedang anggota tim lainnya, Son Andries, akan gabung pada trip berikutnya,
menggantikan saya. Ini demi menghemat tenaga (juga anggaran tentunya).
Sekarang mulai banyak institusi yang meng”hire” penulis lepas seperti kami, yang
punya background pernah bekerja di
media, untuk membuat sebuah buku tentang profile, aktivitas, dan capaian
mereka. Kayaknya mereka menyukai pendekatan jurnalistik meski untuk membuat
sebuah buku yang bersifat laporan resmi.
Kata mereka, tulisan bergaya features jurnalistik itu terasa lebih mengalir, enak dibaca, dan deskripsinya lebih “hidup”
ketimbang sajian berpendekatan ilmiah formal. Tentu saja kami merasa tersanjung
dengan kesan itu, meskipun untuk itu harus
bekerja ekstrakeras menaklukkan kata-kata agar menghasilkan sajian yang bergizi
tetapi tetap “crispy”.
Apalagi tidak semua bahan bisa tersusun menjadi tulisan.
Banyak info yang silang sengkarut, tidak sedikit statemen narsum yang “mbulet” bahkan
berselisih yang harus dikonstruksi lagi agar berdiri menjadi bangunan utuh dan logis.
Belum lagi tumpukan data yang seperti
tak saling berhubungan, sehingga kami harus sabar menata ulang agar
kepingan-kepingan puzzle informasi itu ketemu jodohnya dan menyumbangkan makna.
Capek juga ya? Tentu saja capek. Mana ada bekerja tidak
capek? Tetapi saya menikmati susah-senang kegiatan ini. Bahkan merasa beruntung,
sebab saya termasuk dalam kategori “orang yang mengerjakan hobi lantas mendapat
duwit dari situ.”
Lagi pula pekerjaan menulis tidak melulu memeras otak
sepanjang waktu. Ada ketawa-ketiwi di sela wawancara. Ada incip-incip kuliner lokal
sinonggi dan jagung rebus cocol garam sambel. Wawasan bertambah karena mengunjungi
banyak destinasi dan bergesekan dengan banyak pikiran. Minimal saya dapat terhindar
dari olok-olok teman: “Dolanmu kurang adoh…!”
(adrionomatabaru.blogspot.com).
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon