Kalirejo, Kec.
Lawang, Kab. Malang, era 1970-an.
Waktu itu salah satu kesulitan terbesar di desa
saya adalah pasokan air bersih. Untuk keperluan air minum dan masak kami membeli ke pedagang air keliling. Sedang
untuk mandi harus pergi ke sumber dengan jalan kaki sejauh satu kilometer
lebih. Anehnya, kami waktu itu tidak merasa capek. Bertahun-tahun, pagi dan
sore, kami selalu melakoni ritual
jalan kaki untuk mandi, sebagai sebuah kewajaran. Tidak selalu sih, sebab sekali tempo saya juga pernah ke sekolah tanpa mandi, saking dinginnya atau karena bangun
kesiangan.
Stt…jangan bilang-bilang orang lain, saya beri tahu
rahasianya. Sebelum bersekolah kami hanya mencuci muka, membasuh lengan sampai
ketiak serta menyiram ke dua kaki dengan rata. Saya ulangi: dengan rata. Sebab
ada temanku yang ceroboh dalam menjalani trik ini. Cara menyiram kakinya serampangan,
sehingga terlihat belang di paha bagian belakang. Bu Guru pun tampil menjadi
peramal jitu: “Kamu pasti tidak mandi ya?”
Tempat mandi umum kami berupa pancoran bambu yang
mengguyurkan air bening. Air itu keluar dari cela-cela batu. Tempatnya berada di antara teras iring petak-petak
sawah. Namanya sumber Wak Dur, karena berada di areal sawah milik Wak Dur. Di
sana semua bocah maupun orang dewasa turun mandi dengan melenggang telanjang
meski tempatnya demikian terbuka. Jadi, aku mengenal dengan baik detail aneka anatomi
dasar tubuh pria dewasa pada saat masih sangat bocah.
Di bagian bawah pancoran Wak Dur terdapat sungai
Ndirdo. Di sana terdapat coban atau kedung dengan air terjun yang tidak terlalu
tinggi. Airnya cokelat sehingga hanya dimanfaatkan
untuk memandikan sapi dan kambing. Terhadap air kotor kami tidak peduli. Yang
penting hepi. Melompat dari ketinggian dan terjun ke air adalah sensasi yang luar biasa.
Bapakku sering memperingatkan agar tidak sembrono bermain di situ. Tempatnya
angker, katanya. Ini bukan menakut-nakuti. Ada bukti konkret. Tetanggaku,
penggembala kambing, mulut dan pipinya berubah bentuk gara-gara bergurau di kali
Ndirdo.
“Lihat itu Cak Darto, mulutnya ditampar jin sampek menceng,” kata para ibu menasihati
anak-anaknya. Kelak, setelah dewasa saya baru tahu bahwa bukan tamparan jin
penyebabnya, tetapi gangguan syaraf atau stroke hingga membuat kedua pipinya
tidak simetris lagi.
Akan tetapi rasa ingin tahu selalu mengalahkan
segala nasihat bijak. Maka kami tetap bermain di Ndirdo, ambyur-ambyuran atau berebut naik rakit batang pisang. Pernah suatu ketika seorang temanku berenang
ke tengah sungai lalu memanggilku. “Ayo Yon ke sini. Lihat, di sini dangkal,
cuma segini,” katanya sambil
meletakkan tangan di dadanya. Aku pun tergoda dan menuruti ajakannya.
Byuur…. saya
terjun ke air. Kakiku cepat-cepat mencari-cari tanah pijakan. Tidak ketemu. Ternyata sungai itu dalam sementara saya
belum bisa berenang. Kepanikan terjadi. Air masuk ke mulut dan hidung. Haep..haep..! Tanganku menggapai-gapai
sekenanya. Maunya berteriak minta tolong tetapi air telah menggulung seluruh
tubuh mungilku.
“Yono klelep…
Yono klelep…!” temanku yang lain
teriak. Mereka lalu ramai-ramai menarikku ke daratan. Saya terbatuk-batuk dan
mengusap mata yang perih. Begitu ketegangan mereda merekapun tertawa tergelak-gelak. Saya tersadar telah dikerjain. Rupanya temanku tadi berenang dengan gaya “jalan di
tempat”, sehingga sekilas terlihat air sungai hanya setinggi dadanya. Diamput, butuh celaka untuk mendapatkan
pengalaman berharga.
Kali Wak Dur
Kalirejo sebetulnya memiliki air bawah tanah yang
jernih. Tetapi tidak semua orang kampung mampu membikin sumur karena sumbernya
begitu dalam. Di timur rumahku ada sumur milik asrama tentara. Dalamnya 20
meter, kata tentara yang tinggal di situ, entah akurat entah kira-kira. Kalau engkau
memasukkan ember ke dasar sumur lalu mengerek talinya, maka nyanyikan saja lagu
Indonesia Raya. Manakala lagu
kebangsaan itu selesai, barulah air nyampai di atas.
Oleh karena itu datangnya musim penghujan selalu
menjadi berkah. Terutama berkah bagi petani. Tapi bagi kami yang bukan petani,
curahan hujan setidaknya dapat mengisi tandon air yang terbuat dari tong-tong
bekas aspal. Begitu hujan tumpah aku dan teman sebaya sudah berkejar-kejaran di
bawah langit yang basah. Sesekali kami tengadah sambil mengangahkan mulut.
Mencecap air hujan. Buff…asin!
Bila kemudian di tengah hujan tiba-tiba mentari
menyembul di sela awan putih, kami serempak berteriak girang dan bernyanyi lantang:
“Udan panas, udan panas, onok wewe gombel
manak!” Dengan kejadian-kejadian
yang demikian sederhana kami bisa tergelak-gelak cukup lama. Sungguh, anak
kecil lebih mampu mensyukuri keadaan ketimbang orang dewasa.
Kalau sudah main hujan semua lupa waktu, padahal
badan sudah menggigil dan bibir membiru. Lalu Emakku menyudahi dengan
memerintahkan kami untuk mentas dengan
menyodorkan handuk kering. Kami mandi
bilas lalu berganti baju hingga badan terasa hangat nyaman. Kemudian aku dan
mbakyuku menyempurnakan kegembiraan itu dengan makan nasi bersama. Berbekal
kenangan indah main hujan-hujanan itulah maka kepada kedua anakku kuberi
kesempatan merasakan sensasi yang sama, manakala hujan datang menyapa.
Sekarang sumber air Wak Dur sudah tiada lagi. Investor
telah menyulap sawah teras iring yang indah itu menjadi pabrik spiritus.
Demikian juga sungai Ndirdo juga kian kotor dan tidak layak pakai. Perlahan
semua lenyap dimakan kemajuan zaman. Yang tersisa cuma kenangan, yang sesekali muncul
dalam ingatan.
adrionomatabaru.blogspot.com.
Colek sahabats lama: abdul malik, titin
suhernaning, andriani arifah, sri puji rahayu, iksan sudiono, sri mulyo utami,
mahfud, rini rastuti, suhardi lawang, tatik supartini, bambang sugianto, nita
rasdianti, komunitas bisa menulis.
Ilustrasi: menatapdesa.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon