Di alun-alun kota Batu kincir raksasa berputar
memberi hiburan murah meriah bagi warganya. Penumpang kincir bergerak pelahan
ke samping, lalu ke atas hingga mencapai puncak ketinggian. Dari sana mereka
bisa melihat indahnya panorama kota pegunungan itu. Kemudian bergerak menurun
dan akhirnya kembali ke titik paling nadir.
Tidak semata hiburan, kiranya kincir mainan itu
menghadirkan pembelajaran, tentang perputaran nasib yang disilihbergantikan
oleh sang waktu. Nasib yang kadang di
samping, di atas, kadang pula di bawah. Inilah konsep yang dalam terminologi
orang Jawa kerap disebut sebagai cokro
maninggilingan, owah gingsir gilir gumanti. Jentera cakra yang terus berputar
bergantian.
“Tetapi mengapa ada orang yang sepertinya selalu
berjaya di atas, sedang saya rasanya kok selalu di bawah terus?” kata teman
saya setengah curhat.
“Ya…, itu berarti sumbu asnya sedang rusak,”
jawabku sekenanya.
Sebab memang tidak gampang menjawab pertanyaan tentang realitas yang
tidak selalu mengikuti kaidah cokro manggilingan tadi. Malah menurutku, perubahan
nasib orang di zaman sekarang itu tidak “seteratur” kincir wisata. Dia lebih
mirip dengan pola roller coaster, yang menanjak, meliuk, lantas menikung engan
tidak terduga. Bisa terkaget-kaget kita, bahkan bisa muntah cecek dibuatnya.
Lihatlah itu, sang petahana yang tengah berkibar di
puncak elektabilitas tiba-tiba jungkir balik gara-gara tersandung ayat.
Sebaliknya ada pula rakyat kecil yang tiba-tiba terlontar ke puncak popularitas
cuma gara-gara ulahnya viral di sosmed.
Semua orang maunya ingin berada di salah satu titik
ekstrim kincir. Berambisi menjadi sosok yang paling atas, paling super, sembari
berupaya keras menghindari sisi ekstrim yang lain: paling bawah, paling miskin.
Padahal, siapapun yang berada di ujung kincir pasti berpeluang merasakan posisi
tertinggi, tersamping, dan terendah.
Tentu beda dengan orang yang memilih mendekatkan
diri ke arah tengah kincir, bahkan bersemayam di porosnya. Mereka menjadi
stabil dan relatif terbebas dari fenomena guncangan puncak dan lembah. Kelompok
ini menikmati kehidupan dengan kewajaran penuh. Tidak ada lagi kegembiraan yang
meluap-luap, sebaliknya tiada kesedihan yang mengguncang-guncang hati. Atas
maupun bawah sama-sama ujian bagi sikap syukur dan sabar.
Kincir alun-alun Batu itu terus berputar. Menghibur
sekaligus menebar pelajaran. Setiap hari ratusan pengunjung naik dan kemudian
turun. Semua paham bahwa kincir itu hanyalah
wahana mainan. Tetapi, bukanlah kehidupan juga sebuah “permainan”?
Semua penumpang yang naik kincir pasti akan kembali
turun. Membuka pintu lalu melangkah keluar memasuki dunia nyata. Kita juga
begitu, kelak, pada akhirnya semua akan keluar dari putaran jentera kehidupan.
Lalu memasuki alam baru yang lebih adil abadi. Di sana baru terjawab pertanyaan
teman saya tadi, apakah kita bakal bermukim di tempat nan tinggi ataukah
terpuruk di lembah terbawah.
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon