MEMPERTIMBANGKAN ILMU

  


Semua akan “dipertimbangkan” pada waktunya.

Begitu juga dengan ilmu-ilmu yang tersimpan di dalam buku. Sebagian dari isi buku yang pernah kubaca tetap menancap kuat dalam memori, bahkan hingga deskripsi dan perkiraan letak halamannya saya hapal. Sebagian agak samar-samar tapi masih teringat  substansinya. Dan sebagian lagi sudah hilang tertimbun tumpukan info atau ilmu baru yang lebih menyita perhatian. 

Agaknya ilmu dari buku memang begitu. Ada yang mempertebal keimanan, ada yang mengusik-usik logika dan keyakinan, kadang mendiktekan sikap, dan ada yang sekadar menjadi penge”tahu”an semata.  Maka seiring dengan berjalannya waktu, pikiran saya selalu mempertimbangkan perlu tidaknya sebuah ilmu tetap disave rapi di file ingatan, perlu didell, atau sekalian dimusnahkan dari recycle bin otak. 

Tapi ada alasan lain yang lebih lumrah sifatnya. Tumpukan buku yang terlalu banyak memang mengganggu pemandangan. Terasa sumpek di dalam rumahku yang tidak luas. Di sana di sini buku kerap bergeletakan, tidak bisa tertata rapi karena memang dibaca dan kadang bolak-balik lagi untuk dikutip isinya. Saya tahu semua ini bikin tidak nyaman istri dan anak-anak. 

Maka di saat longgar saya menyempatkan diri membongkari buku dan aneka dokumen untuk diafkir. Dalam hal ini saya kerap gagal. Selalu saja masih banyak buku yang disimpan kembali. Apa saya tergolong orang nyusuh, yang hobi menimbun barang-barang? 

Ya, rupanya saya harus menyeleksi lebih ketat supaya tumpukan tidak semakin menggunung. Dan benar, sebenarnya selalu ada yang dapat disisihkan. Sejumlah buku yang bukan menjadi core minat saya menjadi korban razia pertama. Selanjutnya buku-buku kedaluwarsa. Anehnya, saya tidak tega membuang buku bacaan anak-anak. 

Ada banyak buku yang kubeli karena alasan proyek. Ketika mendapat kerjaan nulis tentang transmigrasi maka otomatis saya membeli beberapa buku transmigrasi untuk referensi. Begitu pula ketika menggarap buku pesanan Dinas Koperasi maka saya melengkapi wawasan dengan menghimpun buku-buku yang berkait.   

Kini saya mencoba berpikir pragmatis dan belajar tidak nyusuh lagi. Lagi pula sekarang sebagian besar dokumen saya sudah berwujud soft copy, sehingga mulai jarang merujuk ke buku-buku fisik dari lemari buku. 

Di masa PPKM Darurat level 4, hasil bongkar-bongkar saya lumayan signifikan. Kali ini cukup banyak majalah, koran, tabloid, buku yang berhasil kugusur. Akhirnya  tumpukan buku itu pun siap untuk diper”timbang”kan.  Mas Alif, tukang rombeng yang saban hari lewat depan rumah, pasti siap untuk menimbang dan mengangkutnya. 

Diam-diam saya coba meminjam perspektif Mas Alif dalam memahami buku. Selama ini saya mengelompokkan buku dari segi disiplin ilmunya. Mungkin terpengaruh klasifikasi ala Dewey yang lazim dipakai di perpus itu:  golongan karya umum (nomor seri 000-099), filsafat (100-199), hingga kesusasteraan (899-899). Atau Undang-undang Sistem Perbukuan yang membagi buku menjadi buku teks (buku paket pelajaran sekolah maksudnya) dan buku nonteks (buku umum). 

Sedangkan Mas Alif rombeng mengelompokkan buku berdasar bahan dasarnya. Makanya dia ciptakan empat kategori:  kertas putih (HVS), kertas buram (CD), kertas koran, dan kertas kardus (duplex). Uniknya, kertas impor jenis bookpaper masuk golongan kertas buram, karena warnanya tidak putih memplak. Hari ini kertas koran bekas dihargai Rp. 6.000 per kg, kertas putih Rp 2.000, kertas CD Rp. 1.500, dan kertas duplex Rp 700. 

Karena beberapa kali sudah merombeng kepadanya, saya diajari trik untuk mengelompokkan buku berdasar versi dia, jika kepingin mendapat harga yang lebih baik. Maka sebelum diper”timbang”kan, tumpukan koran, majalah, dan kertas print kudu dipilah. Cover-cover buku disobeki terlebih dahulu. Sebab cover buku masuk kelompok kertas duplex, sedang kertas isinya ada yang masuk kategori putih ada yang masuk kertas buram. Saat semua “harta karun”ku itu nangkring di atas becaknya, saya pun diberi imbalan  Rp.159.500,- (lumayan?). 

Begitulah, siang itu seorang penulis sedang bertransaksi dengan tukang rombeng kertas. Dia tentu tidak paham betapa sulitnya menulis alinea demi alinea di dalam satu halaman buku. Sebaliknya saya juga tidak paham kenapa harga kertas koran bekas jauh lebih tinggi dibanding kertas lainnya. 

Ya, kami berdua memang punya cara pandang yang berbeda. Saya menghargai buku dari kontennya, sedang dia menilai bobot buku benar-benar dari berat fisiknya. Namun, betapapun, semua sudut pandang perlu ditimbang-timbang kemanfaatannya. (*)

 adrionomatabaru.blogspot.com





 

 

Previous
Next Post »