TITIPAN BAPAK

 

Bapakku bukan seorang guru. Pendidikannya hanya tamatan sekolah rakyat. Tetapi Bapak punya banyak akal untuk mendidik kami, anak-anaknya yang masih bocah. Menanamkan budi pekerti dilakukan dengan cara sederhana tapi mengena. Umpamanya saat beliau ingin menanamkan karakter jujur, amanah, dan  berjiwa sosial dilakukan dengan jurus yang unik. 

Setiap menjelang salat Jumat, seperti hari ini, selalu memberiku uang kertas merah, seratus rupiah. “Tulung iki lebokno nang kotak amal mesjid,” pesannya menyuruhku mengisi kotak amal jariah masjid. Uang itu segera kugulung lalu kuselipkan di bawah gulungan sarung kotak-kotak warna biru putih. Letaknya persis di depan udel. 

Kalau dipikir sebetulnya perintah ini agak janggal. Mengapa tidak dicemplungkan sendiri saja, toh Bapak juga ke masjid?  Kelak setelah dewasa saya jadi paham bahwa semua adalah trik untuk mendidik.

Oh ya, kami berdua salat Jumat di masjid yang sama, di utara pasar cilik Kalirejo, Kec. Lawang. Tetapi kami selalu berangkat dan pulang sendiri-sendiri. Agaknya ayah zaman dulu memang begitu, menyayangi anaknya justru dengan cara menjaga jarak.

Pernah suatu kali saya lupa menyampaikan titipannya. Sesampai di rumah, saat melepas sarung, uang itu terjatuh di lantai. Wah, blaen, kelalen aku! Bagaimana nanti saya harus menjawab pertanyaan yang selalu rutin dilontarkan Bapak seusai Jumatan: “Duwike wis mbok cemplungna kotak amal?”Dalam ilmu manajemen, ini adalah pertanyaan controlling, untuk mengetahui apakah sebuah penugasan telah dijalankan sebagaimana mestinya. 

Mumpung belum ditanya. Saya segera melesat lari ke masjid yang jaraknya sekitar 800 meter. Ketika Emak bertanya mau ke mana, kujawab dengan berdusta: dolan dengan teman-teman. Makanlah dulu! “Engkuk ae, sik wareg…,” jawabku dengan tergesa.  

Sesampai di masjid ternyata urusan tidak selesai. Pagar gerbang masjid sudah keburu digembok. Mau memanjat tidak  berani, takut dikira maling.  Maka kuputuskan untuk balik kucing pulang, seraya berjanji dalam hati, nanti pas salat Ashar, uang itu akan kumasukkan. 

Tapi dasar bocah, kalau sudah bermain lupa akan waktu. Saat Ashar berlalu saya tidak tahu. Waduh terlambat lagi, padahal saya tadi sudah telanjur berbohong pada bapak bahwa uang itu sudah saya masukkan kotak seperti biasanya. 

Hingga kini kejadian itu tetap membekas di hati. Kelihatannya sepele, tetapi saya sempat pontang-panting dibuatnya. Pesan moralnya menjadi jelas: menciptakan rasa bersalah manakala kita tidak mampu mengemban amanah.(*)

 adrionomatabaru.blogspot.com

ilustrasi:infopublik.com

 

Previous
Next Post »