JAHIT SANDAL

  


Dalam kaidah jurnalistik, standar kelayakan sebuah berita selalu dikaitkan dengan keterkenalan (prominence) narasumbernya. Oleh karena itu pejabat, politisi, pesohor, dan pengamat amat gampang menjadi berita. Segala tingkah dan ucapan mereka dianggap newsworthy, makanya pantas untuk disiarkan. 

Bahkan ketika mereka melakukan tindakan sepelepun tetap mendapat jatah halaman di media cetak dan mendapat durasi di media elektronika. Fakta selebritas Nia Ramdhani tidak bisa mengupas buah salak saja menjadi viral. Aurel Hermansyah yang hanya pamer bunga edelweis sudah menjadi topik perbincangan seru.  Sebaliknya, orang-orang kecil harus melakukan perbuatan yang dahsyat terlebih dahulu baru boleh masuk warta berita. 

Tapi kaidah prominence tersebut kini menjadi terguncang gara-gara kehadiran media sosial.  Sekarang semua orang berpeluang sama untuk diunggah ke khalayak. Bahkan semua pribadi dapat dengan mudah mempublish dirinya sendiri ke jagad luas dunia maya. Bebas mengupload status setiap saat tanpa batas. Kiranya tengah terjadi demokratisasi publikasi dan informasi yang luar biasa. 

Oleh karena itu saya santai saja saat mengunggah tulisan tentang rakyat kecil ke fesbuk ini.  “Sekadar” kisah tentang Pak Sol, tukang sol sepatu dan jahit sandal yang bersahaja. Tapi mudah-mudahan saya nanti bisa membuktikan bahwa kiprah mereka pun layak diapresiasi dan dijadikan bahan bacaan yang berarti. 

Sore tadi, Pak Sol cekatan menjahit sandal saya yang alasnya jebol nyaris copot. Untuk keahliannya tersebut pria asal LA (Lamongan Asli) ini meminta upah lima belas ribu rupiah. Sudah puluhan tahun dia menekuni profesi ini, sejak masih bujang hingga kini beranak bini. Setiap hari dia berkeliling naik sepeda angina untuk menjajakan jasanya. 

Sambil bekerja Pak Sol bercerita bahwa kini bulan Juli bukan lagi bulan yang baik. Padahal dulu, sebelum pandemi, bulan Juli sangatlah dinanti-nanti. Menjelang tahun ajaran baru, dapat dipastikan banyak orang yang menjahitkan sepatu atau sandal. “Dulu saya sampek kewalahan njahitnya. Banyak garapan. Sampai harus saya bawah pulang untuk saya diembur di rumah,” katanya. 

Kalau sekarang?, pancing saya. “Waduh sepi, Mas. Sekolah prei, anak-anak gak butuh sepatu. Orang kantoran juga kerjanya di rumah, gak butuh njahit sepatu lagi,” katanya. Apalagi sekarang ada PPKM Darurat, dirinya mengaku sangat merasakan akibatnya. Jalanan menjadi sepi bagai kota mati. 

Dia mengaku akhir-akhir ini lebih banyak muter-muter naik sepeda masuk keluar kampung daripada kerja menjahit. Tapi bagaimanapun semua itu harus dilakoni demi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Menghidupi nyawa isteri, anak-anak, dan dirinya sendiri. 

Berkat jasa Pak Sol, pemilik sandal atau sepatu menjadi dapat berjalan lagi dengan nyaman. Dapat dipakai lagi untuk menuju tempat kerja atau melangkah ke tempat ibadah. Berbareng dengan kemanfaatan itu, bagi Pak Sol, menjahit sandal adalah ikhtiar menjahit nasib, agar hari demi hari dapat tetap survive. 

Banyak teman-temannya yang alih profesi, enggan menjahit lagi. Tapi Pak Sol memilih setia, mungkin sudah tidak ada pilihan. “Enaknya, usaha seperti ini modalnya cuma sedikit. Uang 500 ribu saja tidak habis untuk modal kerja selama satu tahun. Beli benang satu gulung sudah ndak habis-habis. Justru lem yang harus sering beli. Soalnya kaleng lem itu kalau sudah pernah dibuka,  jadi cepat kering,” katanya.

Merenungi tukang jahit sandal di masa Covid, saya kemudian disadarkan oleh kenyataan bahwa Pak Sol bukanlah orang biasa, tetapi sosok luar biasa. Dia demikian teguh bertahan meski tiada jaminan pendapatan dan tanpa topangan dana BLT (bantuan langsung tunai). Tetap memilih jalur mencari rezeki halal meskipun terjal. Menjalani hari ke hari dengan tekun bekerja mandiri, demi menghidupi nyawa anak isteri, bukankah ini sebuah prestasi? Bahkan jangan-jangan di mata Tuhan kiprahnya lebih bernilai ketimbang kinerja pengambil kebijakan yang tidak berpihak kepada kemaslahatan tetapi tetap mendapat gaji dan fasilitas dari negara.   

Dengan prestasi menghidupi nyawa serumah setiap hari, di tengah tekanan wabah yang tidak kunjung henti, masihkah kita katakan dia tidak layak menjadi bahan berita di media massa? Menurutku, tanpa unsur “prominence” pun, keberadaan Pak Sol tetap layak untuk dituliskan, kendati pembacanya mungkin tidak seberapa banyak. 

(adrionomatabaru.blogspot.com)

Previous
Next Post »